MENJAJAKI SESAAT PERMUKIMAN KOTA DI JEPANG: INOVASI HUNIAN VERTIKAL KOMUNAL BERBASIS KOPERASI

oleh: Indriani Pratiwi

 

Merespon Urbanisasi, Merangkul para Pelaku Utamanya

Sejak tahun 1909, Kyoto sudah menjadi salah satu kota yang banyak mengalami urbanisasi. Kota yang pada awalnya diisi oleh aneka tempat dan bangunan bersejarah, perlahan-lahan wajahnya mengalami perubahan.

Di tahun 1919, Pemerintah Kyoto melakukan banyak pembangunan infrastruktur, fasilitas pendidikan dan kesehatan, serta pelebaran dan perluasan jaringan jalan utama kota. Dari pembangunan inilah, berbagai model pengembangan wilayah sekitar jalan utama tumbuh pesat, seperti land readjusment planning dan new town development.

Rakusai Newtown Development Planning adalah salah satunya. Dalam menghadapi urbanisasi, kendala kekurangan stok hunian, sekaligus krisis finansial di awal tahun 1970-an, pemerintah melakukan pencarian masyarakat yang ingin tinggal di Kyoto untuk turut serta dalam proses perencanaan hunian vertikal komunal berbasis koperasi.

Dalam skema berbasis koperasi ini, pemerintah memiliki peran untuk memberikan lokasi dan mengkoordinasi keseluruhan pelaksanaan. Selain itu, pemerintah juga memberikan keleluasan kepada warga tidak perlu berproses dengan pihak ketiga. Warga bersama pendamping dapat memilih langsung kalangan profesional yang diperlukan  (sebagian berasal dari pihak warga) dalam perencanaan hingga implementasi.

Model seperti inilah yang terjadi dalam proyek U-Court Co-housing di wilayah Rakusai, salah satu tempat yang kami kunjungi langsung.

 

Keterlibatan berawal dari Menyenangi dan Memahami Perencanaan

Pada awal pelaksanaan kegiatan, pihak pemerintah tidak mudah mencari komunitas. Pihak pemerintah bekerja sama dengan NPO (non-profit organization) dan kalangan fasilitator untuk mendampingi proses perencanaan. Salah satu NPO yang sering disebutkan dari beberapa sumber adalah Team of Green Growth, yang diinisiasi oleh Professor Yasuhiro Endoh dari Aichi Sangyo University di Nagano.

Salah satu tantangan utama di masa itu adalah mencari dan mengumpulkan warga yang tertarik. Pada awalnya hanya ada 9 KK yang terut serta. Namun, setelah berupaya memperluas jaringan yang ada, akhirnya komunitas terbentuk dengan terkumpulnya 48 KK.

Pada tahun 1982, rembuk perencanaan pertama warga mulai dilakukan. Dalam tahap perencanaan ini, peran fasilitator mendapingi komunitas sangat penting untuk menghasilkan perencanaan yang komprehensif. Para fasilitator ini tergabung dari kalangan profesional, yang diantaranya adalah warga itu sendiri.

Menurut cerita warga U-Court, proses perencanaan awalnya dirasa warga rumit. Hal ini karena tahap perencanaan diisi proses identifikasi, analisis, dan menyusun program kebutuhan. Dan yang pasti, perumusannya disepakati dengan satu suara.

Proses perencanaan yang lama seringkali juga membuat warga merasa penat dan bosan. Bahkan, ada sekali pertemuan yang katanya memakan 11 jam. Dengan melakukan refleksi, akhirnya pertemuan dikemas menjadi lebih menyenangkan dan beragam.

Diskusi pun dipadukan sesuai kebiasaan warga, seperti sesekali dengan kegiatan kumpul sehari-hari yang tidak formal. Suasana seperti ini bukan berarti mereduksi kualitas perencanaan. Justru, semua pihak memiliki kesempatan untuk meresapi dan menyenangi proses, serta memahami betul apa yang diputuskan.

 

Mengawal Hasil Perencanaan agar Sesuai Posisinya

Beberapa tantangan utama para fasilitator adalah memudahkan pembahasan diskusi, serta memudahkan dan mengarahkan warga untuk merumuskan keputusan. Ini semua dilakukan untuk menjaga keterlibatan warga tetap berlangsung tidak hanya di awal perencanaan, tetapi hingga proses akhir perencanaan, seperti melakukan survey, menentukan lokasi U-Court, hingga studi banding dengan program yang relevan.

Keterlibatan warga ini menjadi salah satu indikator penting untuk mewujudkan hasil rancangan yang memadai. Semakin warga terlihat dalam proses perencanaan, maka warga semakin kritis dan tanggap jika ada rancangan ruang yang dirasa tidak sesuai.

Akhirnya, keputusan rancangan U-Court terletak di jalan takenosato kitadori dan menapak di lahan seluas 3.300 m2. Massa bangunan terbagi menjadi 2 bagian yang menghadap arah selatan. Kedua massa saling menghadap dan melingkupi bagian tengah, layaknya bentuk U. Seluruh bukaan unit, teras serta ruang sirkulasi diorientasikan ke ruang publik (courtyard) di tengah. Rancangan inilah yang memberikan nama U-Court.

Dalam tahap perancangan, warga memilih lokasi unitnya sendiri. Warga berhak memilih ketinggian huniannya, dari lantai 1 hingga lantai 5 (jumlah lantai tidak sama dalam satu Pemilihan lokasi juga harus didasari pertimbangan yang relevan, seperti keterbatasan fisik, kesamaan hobi/aktivitas di ruang outdoor, sampai keberadaan hewan peliharaan.

Rancangan U-Court tidak mengakomodir dapur atau ruang makan bersama. Untuk fasilitas komunal, warga memiliki sebuah ruang bersama berupa balai warga dan taman yang mengeliling bangunan. Selain itu, ruang sirkulasi yang terbuka dengan alam juga memudahkan warga untuk melakukan interaksi sehari-hari.

Bagi Professor Endoh dan timnya, mengarahkan warga untuk dekat dengan alam adalah konsiderasi utama dalam rancangan U-Court. Team of Green Growth memadukan mekanisme ruang tinggal berpadu dengan mekanisme alam. Rancangan elemen hijau perlu dipahami juga oleh warga, untuk mewujudkan estetika natural dan udara yang bersih, serta terhindar dari polusi udara, polusi suara, serta terik sinar matahari.

 

Tantangan Usai Hunian Impian Terwujud: Keberlanjutan Komunitas

Program pembangunan U-Court co-housing telah selesai di tahun 1985. Jika dibandingkan dengan sebagian model land readjusment and redevelopment planning di era 1990-an hingga sekarang, proses berbasis komunitas di Rakusai ini relatif singkat (3 tahun). Walaupun begitu, keterlibatan warga yang telah terjadi dapat dikatakan mewakili gambaran machizukuri dalam konteks Rakusai Newtown Development Planning.

Kini, sudah lebih dari 30 tahun komunitas U-Court bertahan. Perubahan zaman, perbedaan generasi, dan pergeseran cara hidup masyarakat dini hari, merupakan tantangan bagi warga untuk tetap mempertahankan diri mereka sebagai kesatuan komunitas.

Tantangan tersebut sudah coba diwadahi dalam rancangan U-Court itu sendiri. Professor Endoh dulu berpendapat, bahwa di masa mendatang alam disekitar ruang hidup warga adalah kesatuan dari identitas komunitas U-Court. Berdasarkan sebuah informasi di website, prediksi tersebut sesuai.

Berdasarkan sebuah studi dan pengamatan, remaja dan pemuda (tidak disebutkan era tahunnya) yang lahir dan dibesarkan di lingkungan U-Court terbukti lebih peka terhadap lingkungan. Mereka juga membuat rutinitas dan kegiatan bersama alam. Mengetahui hal ini, dapat dikatakan keberlangsung komunitas sangat dipengaruhi dengan elemen alam di sekitarnya. Maka, dalam konteks U-Court, alam dan sosial berpadu menjadi modal untuk mempertahankan keberlanjutan komunitasnya.

Berangkat dari konsiderasi merancang dengan alam, warga menuangkan dampak rancangan tersebut ke dalam bentuk perencanaan mandiri. Warga tetap membuat rencana komunitas jangka panjang, merangkul antarwarga lewat kegiatan bersama, serta menuangkannya dalam buku manual mereka.

Buku manual tersebut dibuat secara mandiri oleh pengurus lokal. Buku manual ini menjadi pedoman bagi warga, sekaligus laporan kepada multipihak yang turut berkolaborasi hingga kini. Menariknya, mereka menentukan sendiri sebagian format buku manualnya. Contohnya,  kalimat peraturan tidak boleh seperti kalimat larangan.

Kreasi mandiri warga melakukan perencanaan tidak lepas dari keberagaman profesi warga, serta kalangan keluarga yang tinggal di U-Court. Perbedaan ini bisa mengalami perubahan sewaktu-waktu. Jika ada keluarga yang ingin keluar, mereka perlu musyawarah untuk mempertimbangkan pergantian pemilik hunian tersebut (karena bangunan ini milik setiap keluarga, namun lahannya milik bersama) serta perubahan hubungan sosial yang akan terjadi. Jika hasil musyawarah adalah tidak, maka keluarga tersebut tidak bisa pindah.

Mungkin ikatan sosial yang kuat tersebut adalah salah satu hasil riil upaya memupuk kapital sosial di perkotaan Jepang. Dan itulah tujuan mengapa cara bekerja sama machizukuri sangat diperhatikan oleh pihak pemerintah. (lihat seri artikel “Menjajaki Sesaat Permukiman di Kota Jepang: Memahami Arti Machizukuri”).

Artikel ini merupakan salah satu contoh hunian vertikal komunal berbasis koperasi yang sudah lama diterapkan di Jepang. Artikel ini belum cukup menggambarkan sistem penunjang dari pihak pemerintah Jepang, serta mekanisme terkait perubahan adaptasi ruang dan pengaturan kepemilikan.

 

[Baca juga: seri artikel MENJAJAKI SESAAT PERMUKIMAN KOTA DI JEPANG: MACHIZUKURI DALAM UPAYA MENATA PERMUKIMAN TERPADU DI KOTA JEPANG ]

 

http://begoodcafe.com/archive-bgc/ecvc2007_en05

https://www.city.kyoto.lg.jp/tokei/cmsfiles/contents/0000057/57538/1shou.pdf

https://www.japantimes.co.jp/news/2001/01/05/business/cooperative-style-condos-let-owners-realize-dreams/#.XMQiMfZuJaw

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *