oleh: Indriani Pratiwi
RCUS melakukan studi banding penataan permukiman di 5 kota besar Jepang. Kelima kota tersebut adalah Tokyo, Nagoya, Kyoto, Kobe, dan Osaka. Secara keseluruhan, agenda utama kami adalah observasi hasil penataan dan diskusi terkait proses machizukuri dalam perencanaannya.
[Baca juga: seri artikel MENJAJAKI SESAAT PERMUKIMAN KOTA DI JEPANG: MENGENALI MACHIZUKURI ]
Dalam kegiatan ini, RCUS didampingi oleh kawan dari kalangan NPO (non-profit organization) dan perwakilan kelompok warga, serta kalangan akademisi dari Kyoto University dan Asia University. Informasi yang kami pelajari secara langsung kemudian saya pelajari kembali bersama sumber literatur pendukung. Berikut ini serangkai narasi pembelajaran dari kami.
TOKYO: Boutifikasi Permukiman Bersejarah di Area Yanaka dan Nezu
Tokyo shitamachi (kota tua), begitulah wilayah Yanaka dan Nezu dikenal masyarakatnya. Kedua wilayah ini terletak di bagian utara kota Tokyo, Bunkyo Ward, (termasuk area yang terkena dampak pemboman pada era Perang Dunia ke-II) dan tergabung dalam komunitas YaNeSen (Yanaka-Nezu-Sendagi).
Perencanaan berbasis chonakai (komunitas warga kota) ini dilakukan dalam upaya penataan melalui perpaduan kota bersejarah dengan kota modern. Menariknya, inisiasi ini berawal dari ide tiga orang warga lokal di tahun 1984. Mereka membuat majalah “Yanesen”, sebagai bentuk upaya awal mengajak para warga menyadari pentingnya nilai-nilai lokal yang berada di wilayah tersebut, dari sejarah, keseharian warga, hingga beragam aset ruangnya, seperti pemakaman, kuil, dan bangunan bergaya arsitektur era Taisho dan Showa. Hingga kini, publikasi majalah tersebut telah berumur 24 tahun dan diperbarui setiap 4 tahun sekali (lihat www.yanesen.net).
Menurut Sorensen (2009), inisiasi itu sudah dilakukan sejak era pembangunan di tahun 1990-an. Komunitas YaNeSen berkolaborasi dengan kalangan seniman, profesional lokal, serta non-profit organization (NPO) dalam rangka melawan “gentrification”. Kolaborasi ini melahirkan kesatuan boutifikasi (“Boutiquification), yaitu melakukan intervensi ruang dalam suatu wilayah secara bertahap, tanpa perubahan masif ataupun menghilangkan karakteristik sesungguhnya wilayah tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan Sorensen dan Koizumi (2007), sejak akhir tahun 1990-an beragam bentuk adaptasi mulai bermunculan. Dari toko cendramata, galeri, kedai kopi bersejarah, hingga tempat non-komersial, mengisi wajah YaNeSen. Hasil dari adaptasi ruang ini tidak menutupi karakter lokal, melainkan mengangkat sekaligus mempertegas nilai-nilai bersejarah bangunan dan peristiwa di sana.
Beberapa tempat bersejarah yang kami lewati adalah kedai “Kayaba Coffee” di Yanaka. Bangunan “Kayaba Coffee” yang pada awalnya hanya rumah warga (dibangun 1916), dibuat menjadi kedai kopi pada tahun 1938. Kedai ini pun dipilih oleh warga untuk dimasukan sebagai salah satu subjek penataan. Walaupun ada sisi bangunan yang terpotong akibat rencana pelebaran jalan pemerintah, perubahan itu tidak menghilangkan karakter arsitektur lokalnya.
Selain intervensi ruang komersil, intervensi ruang terbuka eksisting juga menjadi agenda utama komunitas YaNeSen. Warga menghidupkan kembali area terbuka di permakaman kuil setempat, seperti menyelenggarakan acara komunitas setempat.
Sorensen, André. 2009. Neighborhood Streets as Meaningful Spaces: Claiming Rights to Shared Spaces in Tokyo. Artikel dalam City & Society, Vol. 21, Issue 2, pp. 207–229. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/229448964_Neighborhood_Streets_as_Meaningful_Spaces_Claiming_Rights_to_Shared_Spaces_in_Tokyo, pada 8 April 2019. Sorensen, André, dan Hideki Koizumi. 2009. Machizukuri, Civil Society, and Community in Japan Society. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/269037740_Machizukuri_Civil_Society_and_Community_Space_in_Japan. Diakses pada 8 April 2019. https://walkingbikingjapan.wordpress.com/2016/05/20/nezu-yanaka/. Diakses pada 9 April 2019.
NAGOYA: Mengaktifkan Kembali Area Perdagangan Endoji dan Chojamachi
Chukyo (ibukota di bagian tengah) adalah sebutan kota ke-4 terbesar di Jepang, yaitu Nagoya. Kota ini terkenal dengan kastil, kuil Shinto, dan perdagangannya. Area perbelanjaan khas Jepang, atau disebut shotengai, adalah salah satu daya tarik kota Nagoya sejak abad 18.
Sejak dahulu, Nagoya dikenal sebagai kota transit sekaligus pusat perbelanjaan shotengai. Kejayaan tersebut tidak bisa lepas dari lokasinya yang berada di antara kota Tokyo dan Kyoto. Namun, kejayaan itu hilang ketika transportasi modern (subway, mobil) memasuki keseharian orang Jepang. Dampanya, banyak toko-toko tradisional di shotengai bangkrut dan tutup.
Situasi itu masih dapat dirasakan di sebagian lokasi Nagoya hingga sekarang. Menghadapi tantangan ini, sebagian warga Nagoya menginisiasi perencanaan kolaboratif dengan berbagai pihak.
Salah satunya seperti di tempat kami menginap, Nishiasahi Guest House di area Endoji shotengai. Area perdagangan yang dikelilingi permukiman ini, menjadi salah target area yang direvitalisasi. Melalui program pemerintah Brandland Japan, perencanaan berbasis komunitas dilakukan oleh warga dan kelompok pedagang setempat, NPO, serta pihak luar lain. Kini, area Endoji mulai ramai diisi usaha lokal, kegiatan tur lokal, serta festival tanabata.
Inisiasi warga Nagoya juga dilakukan di area Chojamachi, wilayah yang terletak di pusat kota Nagoya. Informasi ini disampaikan oleh NPO Engawa, salah satu pihak yang bekerja sama dengan warga di area tersebut. Bagi warga, bagian bersejarah kota Nagoya juga terdapat pada Chojamachi Senigai yang berarti “pusat tekstil Chojamachi”.
Pada tahun 2004, perencanaan dimulai di area Chojamachi, melalui pendekatan ke warga dan asosiasi pedagang lokal. Beberapa program yang dibuat yaitu merubah sistem perdagangan tekstil dari skala grosir menjadi skala eceran. Selain itu, ada juga perencanaan revitalisasi area setempat. Tujuan revitalitasi adalah menghindari pembongkaran bangunan tua pada lahan yang hendak dijual atau dijadikan ruang parkir. Lantai dasar bangunan tua menjadi ruang publik.
Acara perayaan lokal juga menjadi program utama di area Chojamachi. Warga, kelompok pedagang lokal, bersama NPO lokal dan Aichi Triannalle, berkolaborasi menyelenggarakan festival pedagang, atau “yebisu-matsuri”. Acara ini diadakan setiap tiga tahun sekali.
Warga juga melakukan perencanaan penataan di sepanjang jalan Nishiki, salah satu area sekitar Chojamachi. Salah satu upaya awal dilakukan melalui pelebaran jalan pedestrian. Program ini terintegrasi dengan rencana kawasan Aichi, yaitu menghidupkan kembali ruang terbuka kaisho dan gang lingkungan.
Kenjiro Matsuura (2018) menunjukan bahwa kaisho adalah salah satu elemen struktur ruang kota dalam perencanaan kota Nagoya. Kaisho berguna sebagai ruang bersama, sekaligus penghubung akses alternatif bagi penghuni sekitar dan pejalan kaki.
Selain mempertahankan kaisho lama, pemerintah lokal dan warga Nagoya berkolaborasi untuk melalukan penataan ruang terbuka skala human scale dengan konsep kaisho. Ruang terbuka ini akan disesuaikan pembangunannya di beberapa titik lokasi.
Demi mendukung hasil yang berkelanjutan dari perencanaan ini, pihak pemerintah pun turut andil untuk memberikan kemudahan sistem pelaksanaan, serta subsidi dan bentuk intensif. Kemudahan tersebut diantara terkait perizinan pemakaian akses publik untuk diadakan festival. Contoh lain terkait subsidi dan bentuk intensif seperti memberikan keringanan biaya di program penataan, serta memberikan pengurangan pajak pada lahan yang direlakan untuk fasilitas umum setempat.
Diagram konsep yang disampaikan oleh pihak NPO. Diagram ini menunjukan bahwa siklus menghadapi isu dan masalah, merencanakan, hingga melakukan, adalah siklus yang akan selalu terjadi di kehidupan masyarakat Nagoya. Setelah tahun 2017, kita tidak akan tahu pada waktu kapan tahapan di siklus ini akan terjadi lagi. Yang pasti, kunci utama berada di kesiapan dan antisipasi masyarakat tersebut.
Matsuura, Kenjiro. Study on Kaishochi changes before and after the war-damage-recovery land readjustment programs of Nagoya City, Japanese Castle Town. International Planning History Society Proceedings, [S.l.], v. 18, n. 1, p. 935-943, oct. 2018. ISSN 2468-6956. Available at: <https://journals.open.tudelft.nl/index.php/iphs/article/view/2741>. Date accessed: 25 apr. 2019. doi: https://doi.org/10.7480/iphs.2018.1.2741. Diakses pada 10 April 2019. https://www.aichi-now.jp/en/spots/detail/923/. Diakses pada 8 April 2019. https://www.meti.go.jp/english/press/2018/0718_002.html. Diakses pada 9 April 2019. https://www.nagonoya.com/english/about.html. Diakses pada 8 April 2019.
KOBE: Antisipasi Bencana di Permukiman Pesisir Nagata dan Suma
Kota Kobe adalah salah satu kota berbudaya maritim terbesar di Jepang. Pada tahun 1970-an, dunia mengenal Kobe sebagai kota pelabuhan internasional Jepang tersibuk di dunia.
Kota Kobe adalah kota yang sangat rawan terhadap gempa bumi. Pada pelaksanaan penataan paska gempa bumi The Great Hansin Earthquake di tahun 1995, sebagian besar kawasan kota Kobe termasuk ke dalam kategori zona hitam, atau kategori area yang mengalami kerusakan terparah (Ito, 2007).
Salah satu kawasan permukiman yang kami kunjungan adalah Suma. Fasad bergaya arsitektur Barat mendominasi wajah permukisan di kawasan tersebut. Ternyata, dahulu rumah-rumah disana banyak dibangun dan ditinggali oleh para pekerja asing pelabuhan Kobe di abad pertengahan ke-19.
Bentuk tapak Suma sebagian besar berbukit dan berkontur curam. Karakter spasial ini tentu berdampak terhadap perencanaan spasial di wilayah Suma. Menyadari hal ini, penataan banyak mengintervensi jalur sirkulasi dan ruang terbuka skala human scale.
Salah satu upaya adalah menghubungkan jalan buntu dengan memasang elemen ‘pintu’ sekaligus ‘tangga penghubung’ di titik vital jalur mitigasi (seringkali jalan buntu akibat perbedaan tingkat tapaknya). Jalur yang terbentuk dari hubungan jalan buntu ini akan mengarah ke ruang terbuka yang tersebar secara acak di sebagian titik kawasan.
Pada dasarnya, perencanaan ruang terbuka dilakukan secara organik. Pemilihan lokasi lahan adalah hasil inisiatif warga untuk menyumbangkan lahannya demi kepentingan bersama warga. Pemerintah pun merespon rencana ini dengan memberikan keringanan pajak terhadap pemilik lahan. Dari upaya ini, ruang terbuka bukan hanya berguna sebagai ruang evakuasi, tetapi juga ruang sosial dan berkebun bagi warga setempat.
Kami juga mendatangi area permukiman nelayan tua di kawasan Nagata. Tapak Nagata berbeda dengan Suma yang berbukit; ia datar dan menyatu dengan dataran pantai.
Untuk menunjang keberlangsung perencanaan jangka panjang, pemerintah Kobe juga turut serta di dalamnya. Salah satunya adalah perencanaan pelebaran jalan pemerintah. Menyadari hal ini, perencanaan warga adalah menghubungkan jalan buntu dan membuat ruang terbuka lokal yang terhubung dengan jalan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga memberikan fasilitas penanggulangan sementara kebakaran beserta pelatihannya untuk warga setempat, mulai dari anak kecil hingga orang tua.
Pihak pemerintah juga memberikan bentuk intensif dan memperketat persyaratan peningkatan kualitas permukiman warga. Intensif tersebut berupa keringan beban pajak untuk warga yang ‘menyumbang’ ruang terbuka. Sementara, persyaratan yang diperketat adalah tata cara pelaksanaan renovasi rumah yang dipadukan dengan rencana pelebaran jalan.
Jika warga ingin memperbaiki rumahnya, maka ia harus melakukan pemapasan sisi rumahnya yang berada dalam area pelebaran jalan. Sistem ini tidak memiliki batasan waktu ataupun desakan dari pihak pemerintah. Jika terdapat warga yang belum melakukan hal tersebut, maka tekanan atau kesadaran dari para tetanggalah yang bisa mendorong renovasi rumah segera dilakukan.
Upaya lain di internal warga adalah berkolaborasi dengan kalangan profesional untuk merenovasi rumah dengan material anti api dan struktur tahan gempa, serta merancang ruang publik setempat. Selain itu, untuk meningkatkan partisipasi warga mengadakan festival, intervensi kreatif ruang publik, serta kegiatan lokal lainnya bersama kalangan seniman dan NPO setempat.
Funck, Carolin. 2007. Machizukuri, Civil Society, and the Transformation of Japanese city planning: Cases from Kobe. Artikel dalam Living Cities in Japan: Citizens’ movements, machizukuri, and local environments. New York: Routledge. https://dreamofacity.com/2015/05/12/kobe-bund-and-the-former-foreign-settlement-神戶旧居留地/. Diakses pada 8 April 2019. https://en.wikipedia.org/wiki/Port_of_Kobe. Diakses pada 8 April 2019.
OSAKA: Mengenal ‘Zakka’ dalam Perencanaan Revitalisasi Permukiman Nakazaki
Osaka (artinya lembah besar) adalah kota terbesar kedua Jepang setelah kota Tokyo. Di kota ini kami mendatangi area permukiman padat Fukushima dan Nakazaki. Karena kedua wilayah ini selamat dari pemboman di era perang dunia ke-2, kami sering menemukan rumah tradisional dan kuil tradisional disana.
Kini, karakteristik yang terdapat di kedua wilayah tersebut cukup berbeda. Fukushima lebih banyak terdapat gedung perkantoran, area perbelanjaan, serta pabrik dan tempat usaha (hal ini dikarekana Fukushima lebih dekat dengan area pusat bisnis Umeda). Walaupun begitu, kami masih merasakan lokalitas Fukushima, dengan banyaknya kuil Budha dan Shinto yang kami temui.
Di sisi lain, permukiman Nakazaki masih didominasi dengan rumah berarsitektur vernakularnya. Hampir di setiap fasad rumah kami menemukan penggunaan material lokal yang khas (struktur kayu, kombinasi dinding kayu – dinding metal bergelombang) serta jalan lokal yang tidak lebar dan berliku-liku.Kami jadi berasa ada di kampung kota Jakarta, namun versi yang lebih tertata.
Dari beberapa sumber literatur, saya menemukan bahwa konsep perencanaan ini diinisiasi oleh seorang seniman, Jun Amanto. Inisiasi ini berawal dari keresahannya akan lunturnya cara hidup warga Jepang, serta kerentanan terhadap gentrification di era 1990-an.
Mulai tahun 2001, Jun bersama komunitas setempat melakukan penelitian selama 3 tahun untuk menelusuri apa yang seharusnya dilestarikan di area Nakazaki. Akhirnya, mereka menyadari betapa banyak nilai-nilai lokal yang perlu dipertahankan, dari kuil-kuil, fasad rumah yang unik, hingga budaya lokal warga Nakazaki.
Jun bersama kalangan seniman dan warga setempat melakukan revitalisasi pertama dengan merenovasi salah satu rumah warga menjadi cafe sekaligus ruang komunitas. Tempat ini bernama Salon De Amanto (sayangnya, kami tidak menghadiri tempat tersebut). Setelah tempat ini dikenal, intervensi ruang lainnya bermunculan.
Di area Nakazaki, kami menemukan beragam bentuk adaptasi ruang, seperti toko sovenir lokal, café lokal, toko baju ala ‘hispter’, tempat workshop seniman, serta toko berkonsep slow-living (menjual aneka barang bekas). Pembangunan adaptasi ini lebih banyak dilakukan melalui renovasi, daripada membangun sesuatu yang baru. Dengan cara inilah warga Nakazaki dapat mempertahankan karakter gang-nya yang berliku dan tidak bisa dilalui mobil.
Mengangkat keberagaman dalam keseharian (everyday goods and things) ini merupakan zakka (cara hidup masyarakat Jepang) dalam perencanaan komunitas setempat. Melalui semangat machizukuri dan cara hidup zakka, mereka yakin dapat mempertahankan community resillience untuk melawan gentrification yang kapan saja bisa mengancam area Nakazaki.
https://en.wikipedia.org/wiki/Slow_living Diakses pada 11 April 2019 http://followsara.com/2017/11/nakazakicho-a-charming-neighborhood-in-osaka/. Diakses pada 11 April 2019 https://insideosaka.com/nakazakicho/. Diakses pada 11 April 2019 https://www.japantimes.co.jp/culture/2016/02/16/arts/zakka-goods-things/#.XMKKWPZuJVo. Diakses pada 20 April 2019 https://www.kansaiscene.com/2016/06/find-your-niche-in-nakazakicho/. Diakses pada 11 April 2019
KYOTO: Penguasaan Fisik Permukiman Ilegal di kawasan Fushimi
Wilayah permukiman yang kami datangi terakhir adalah area permukiman ilegal di wilayah sekitar jalan Oiwa-Kaido, kawasan Fushimi. Sejak dulu, area sekitar Gunung Inari ini adalah area hijau yang didominasi oleh tanaman bambu.
Sejak dulu, area ini adalah satu-satunya tempat produksi material dinding tanah liat khas Jepang tsuchikabe. Namun, modernisasi material bangunan, masalah lingkungan, serta ketidakjelasan status legal area tersebut, satu per satu pabrik tsuchikabe ini menghilang. Kini, hanya satu pabrik yang masih bertahan.
Permukiman dan berbagai jenis usaha ilegal ini tumbuh sejak tahun 1971. Pembangunan infrastruktur dilakukan secara swadaya, sementara sebagian kelompok rumah melalui jasa kontraktor. Hingga kini, peningkatan lingkungan di area belum merata dan menyeluruh.
Salah satu gunung sampah yang menghijau akibat penumpukan lebih dari 30 tahun. Mayoritas sampah adalah perkakas rumah tangga, lempengan besi mobil, dan sampah rumah tangga. Lucunya, gunungan sampah yang terkenal adalah Gunung Okada dan Gunung Iwata (berasal dari nama warga yang membuat sampah paling banyak). Sumber: Dokumen koleksi RCUS.
Kami bersama kelompok pendamping dari Universitas Kyoto dan Fukakusa Branch (setingkat lurah dan/atau camat) melalukan pengamatan ke area penataan. Perencanaan ini bermula ketika town planning council memberikan peringatan di tahun 2010. Sejak saat itu, segenap warga dan komunitas pengusaha membentuk asosiasi tetangga (NA). Mereka mulai berkolaborasi dengan pihak luar untuk mengusulkan perencanaan, terutama dalam hal peningkatan kualitas lingkungan.
Profesor Kiyoko Kanki memfasilitasi perencanaan Resillient Land Use Development dalam rangka menghadapi permasalahan lingkungan sekaligus legalitas. Permasalahan lingkungan tersebut seperti illegal dumping (pembuangan sampah industri), kurang tertatanya permukiman lokal, serta infrastruktur yang belum memadai. Masalah lainnya yang turut mempengaruhi perencanaan adalah meningkatnya orang tua, ketidakpercayaan warga terhadap pemerintah, dan ikatan sosial yang merenggang.
Berangkat dari permasalah di atas, perancanaan spasial di wilayah seluas 36,8 Ha ini terbagi menjadi tiga fokus utama area. Pertama, area A fokus terhadap peningkatan infrastruktur dan restorasi hutan bambu. Kedua, area B fokus terhadap pengorganisasi warga, perencanaan permukiman dan perkebunan setempat, serta pengurangan sampah. Terakhir, area C fokus terhadap peningkatan kualiatas hutan bambu, danau lokal Chinju, serta keberlangsung industri tsuchikabe.
Setelah meningkatnya keterlibatan warga dan pengusaha setempat dalam berbagai upaya, mereka membentuk Area B Town Planning Council di tahun 2017. Bersama kalangan akademisi dan pihak Fukakusa Branch, mereka melakukan beragam inovasi kegiatan komprehensif, seperti pelatihan menyusun strategi bersama multiaktor, perencanaan river & open space upgrading, serta analisis situasi geografi lokal. Semua kegiatan ini dituangkan melalui pertemuan ala warga yang menyenangkan, seperti berkumpul di salah satu rumah warga dan lunch picnic.
Upaya yang terjadi di wilayah ini mewakili segelintir penguasaan fisik warga permukiman ilegal. Dalam kasus permukiman ilegal Fushimi, warga sadar bahwa penguasaan legal atas penggunaan ruang belum bisa mereka dapatkan.
Namun, dengan semangat machizukuri inilah, penguasaan fisik dapat diwujudkan bersama-sama untuk mendorong pengakuan legal pemerintah Kyoto atas keberadaan mereka.
[Baca juga: seri artikel MENJAJAKI SESAAT PERMUKIMAN KOTA DI JEPANG: MACHIZUKURI DI MATA PEMERINTAH JEPANG ]
Pingback: MENJAJAKI SESAAT PERMUKIMAN KOTA DI JEPANG: MENGENALI MACHIZUKURI - Rujak
Pingback: Kampung Kota bukan nostalgia belaka www.rujak.org