oleh: Indriani Pratiwi
Mengenal UR sebagai Pihak Pemerintah
Saat studi banding di Jepang, kami melakukan diskusi bersama UR (Urban Reinanssance Agency). UR adalah badan usaha pemerintah (semi-governmental organization) dibawah Kementrian Tanah, Infrastruktur, Transportasi dan Pariwisata Jepang. yang menangani peningkatan kualitas lingkungan perkotaan, penataan kawasan permukimannya, menyediakan rumuh susun sewa, serta menangani program restorasi paska bencana. Hingga kini, UR adalah salah satu pihak penting yang berperan dalam model penataan Land Readjusment and Redevelopment Planning di sebagian kota Jepang.
UR membuat klasifikasi perhitungan umum untuk permukiman padat di perkotaan. Pertama, lebih dari 30% material penyusunan bangunan adalah kayu. Kedua, tiap hektar dihuni lebih dari 55 kepala keluarga. Ketiga, kurang dari 60% area adalah rawan kebakaran.
Disamping perhitungan tersebut, UR memiliki karakteristik lain terkait kualitas lingkungan dan legalitas di permukiman padat. Diantaranya adalah jalan yang tidak lebar (kebutuhan lebar dikaitkan dengan kerawanan lokasi terhadap gempa bumi), kualitas tanah yang rapuh untuk konstruksi, banyaknya jalan buntu, dan kurangnya cahaya matahari dan ventilasi udara, serta mayoritas lahan dan rumahnya adalah sewa.
Perencanaan Peningkatan Kualitas Permukiman Berbasis Pembentukan Komunitas
Aspek lain yang tak kalah penting adalah sosial. Bagi UR, ikatan warga lokal yang masih kuat juga merupakan karakteristik permukiman padat di kota. Adanya modal sosial inilah yang menjadi konsiderasi UR untuk mewadahi semangat machizukuri dalam perencanaan berbasis pembentukan komunitas (community formation).
Dari hasil diskusi serta pengamatan lapangan, tipikal hasil program penataan UR yang kami dapati adalah vertikalisasi hunian padat. Namun, UR tetap menggunakan prinsip perencanaan kolaboratif berbasis pembentukan komunitas, sehingga model rancangan beragam (co-housing, public housing, rental housing, dsb). Dalam hal ini, ada dua kategori model pembentukan komunitas. Pertama, mempertahankan dan menguatkan komunitas yang sudah ada. Kedua, membentuk kembali dan menguatkan komunitas (umumnya terjadi pada restorasi paska bencana).
UR membagi tantangan utama pembangunan berbasis pembentukan komunitas, yaitu membangun kembali ‘spirit’ komunitas terdampak bencana, membangun kesiapan komunitas terhadap bencana jangka panjang, serta menghadapi tantangan meningkatnya jumlah orang tua dan single person di komunitas yang terdampak bencana.
Motif UR: Dari Kepercayaan, Menciptakan Kesiapan
UR memiliki keyakinan bahwa modal sosial adalah fondasi untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan jangka panjang. Maka, untuk mewadahi keberlangsung komunitas, UR sebagai ‘jembatan’ membuat kebijakan bagi multipihak yang ikutserta dalam perencanaan. Secara prinsip, kebijakan pertama menekankan bahwa kebutuhan komunitas adalah hal utama yang perlu disadari oleh semua pihak. Pada kebijakan kedua, kolaborator harus memberikan mendorong model kegiatan yang diinisiasi oleh komunitas tersebut.
Selain kebijakan, sistem yang menunjang juga dirancang oleh UR untuk memperjelas posisi setiap kolaborator. Pertama, pihak komunitas harus terdiri dari asosiasi tetangga (NA) atau machizukuri council, dan kelompok warga (sebagai relawan). NPO atau kelompok lembaga swadaya masyarakat masuk sebagai pendamping pihak komunitas. Setelah pihak komunitas siap, UR akan masuk sebagai koordinator sekaligus konsultan untuk mengatur skema program serta pembiayaannya. Dalam proses ini, beban biaya dan pelaksanaan program tidak semuanya ditanggung oleh UR.
Mempertahankan Kampung Kota ala Jepang di Metropolitan Tokyo
Kawasan Sumida adalah kawasan terpadat di bagian utara Metropolitan Tokyo. Kawasan ini adalah salah satu dari 23 kawasan khusus di Metropolitan Tokyo. Untuk mencapai ke area tersebut, kami menggunakan transportasi air di sepanjang sungai Arakawa-Sumida.
Struktur ruang kawasan Sumida tidak mengadopsi struktur grid. Hal ini dikarenakan zaman dahulu kawasan Sumida adalah kawasan pertanian. Pertumbuhan ruang kawasan terbentuk secara organik dengan mengikuti struktur pengaliran air bersih pertanian tersebut.
Tak disangka, kota semodern Tokyo, masih memiliki perkampungannya. Salah staunya adalah Kyojima, area permukiman informal terpadat di kawasan Sumida. Warga masih banyak membangun rumahnya dengan material kayu dan metal bergelombang. Jalan lingkungan yang berliku dan gang masih dapat kami lihat di sana.
Kepadatan yang tinggi serta material bangunan yang masih rawan kebakaran menjadi masalah bagi pemerintah. Namun, bagi warga ada karakter ruang yang kuat di Kyojima yang tak boleh dihilangkan, seperti adanya jalan lokal yang berliku, karakter rumah lokal, serta ruang sosial warga setempat. Hal inilah yang menjadi tantangan bersama bagi pihak pemerintah dan warga.
Sejak tahun 1974, warga Kyojima mulai melakukan pengorganisasian dan pendataan aset lokal. Di tahun 1981, warga membentuk persatuan komunitas Kyojima. Lalu, mereka pun membangun “Kyojima-Kyogikai” (balai lokal sekaligus kantor resmi machizukuri) sebagai wadah berkumpul. Kesiapan inilah yang menjadi modal awal dalam perencanaan jangka panjangnya, khususnya antisipasi bencana gempa bumi.
Merumuskan Rencana bersama Warga, bukan Memberikan Rencana
Paska gempa bumi The Great Earthquake Hanisin di tahun 1995, pemerintah lokal melakukan perencanaan Sumida-ku Redevelopment Planning. Salah satu pihak yang mengkoordinasi proyek penataan permukiman beserta fasilitas publik setempat adalah UR.
Beruntungnya, kesiapan perencanaan pemerintah lokal dapat direspon dengan kesiapan warganya. Dalam Kyojima upgrading-project, UR bersama warga Kyojima, NPO lokal, serta kalangan profesional merumuskan lanjut perencanaan sesuai kebijakan UR, yaitu harus mewadahi kebutuhan warga Kyojima dan nilai lokal yang ada.
Dalam proyek ini, proses perencanaan hingga implementasi pembangunan kembali memakan waktu 4-5 tahun. Waktu yang cukup lama perlu diterapkan karena proses dilakukan dengan memperhatikan aspek human scale dan multi-habitation, sehingga dilakukan secara bertahap. Hal ini pun sesuai dengan kebijakan UR yang kedua, yatu keseluruhan perencanaan ini harus menyesuaikan target keluaran dan model program dalam outline plan komunitas Kyojima.
Sebagai contoh, perencanaan pemerintah mengatur lebar jalan menjadi 6-8 meter untuk antisipasi bencana. Di sisi lain, pelebaran jalan akan mereduksi ruang horizontal dalam area permukiman warga. Hal ini tentu berdampak terhadap ruang hunian dan fasilitas publik warga. Pelebaran jalan ini ternyata bertemu dengan salah satu target warga, yaitu menjadikan ruang terbuka sebagai tempat bersosial sekaligus mitigasi setempat sangat penting untuk ditingkatkan akses dan keterbukaannya. Menyadari hal ini, lalu warga membuat target setiap jalan buntu yang ada harus dibuka dan dihubungkan satu sama lain menuju ruang terbuka tersebut, serta jalan besar kawasan.
Selain tercapainya lingkungan yang aman terhadap bencana, warga juga mempertahankan nilai yang sudah ada, yaitu menjaga hunian mereka tetap terjangkau (harga dan lokasi). Mereka pun juga menargetkan warga harus tetap aktif dalam upaya penataan jangka panjang berikutnya. Oleh sebab itu, untuk mencapai solusi bersama, warga pun menyepakati upaya menyusun kembali hunian mereka secara vertikal.
Hunian Vertikal Komunal sebagai Solusi Bersama
Sejak paska bencana di tahun 1995, hingga kini perencanaan dan upaya penataan terus berlangsung. Pemetaan dan pendataan berbagai aspek dilakukan baik oleh pihak pemerintah dan komunitas Kyojima bersama pendampingnya. Penataan Sumida-ku Land Redevelopment Planning pun menyesuaikan kategori penataan dan pembangunan kembali kelompok hunian di beberapa titik vital area Kyojima.
Pembangunan kembali hunian secara vertikal dilakukan disebagian kelompok rumah di titik tersebut. Rentang jumlah KK (kepala keluarga) dalam setiap kelompok (grouping house) tidak lebih dari 20 KK. Jumlah ini dibuat untuk menjaga kedekatan tetangga di setiap kelompok, serta menjaga intervensi ruang vertikal tetap human scale.
Selain dalam tahap perencanaan, keterlibatan warga juga diikutsertakan dalam tahap perancangan bangunannya. Ukuran unit, tata letak antartetangga, serta konsiderasi perlakuan atas ruang sehari-hari warga menjadi hal penting yang perlu dirumuskan bersama. Dalam hal ini, warga didampingi oleh arsitek setempat yang mereka tunjuk sendiri.
Mekanisme Ruang Terbuka Publik yang Dipahami Warga
Selain membangun hunian vertikal komunal, penataan atau pembangunan ruang terbuka setempat juga menjadi elemen utama dalam penataan permukiman Kyojima. Beberapa hasil perumusan rencana terkait cara penggunaan serta pemilihan lokasi, konsep furnitur publik sebagai kotak penyimpanan perkakas kebencanaan hadir di setiap rancangan ruang terbuka. Tempat penyimpanan dapat diakses dengan kunci yang dipegang oleh koordinator komunitas Kyojima di beberapa titik.
Rancangan ruang terbuka ini juga mewadahi elemen penanggulangan bencana kebakaran dan gempa bumi. Untuk kebakaran, warga dapat menggunakan penyemprot hidran selagi menunggu pemadam kebakaran pemerintah datang.
Di saat paska gempa bumi, warga juga dapat memanfaatkan bukaan manual di alas ruang terbuka tersebut. Bukaan ini akan menghubungkan warga dengan saluran air bersih dan kotor khusus keadaan darurat. Selain bukaan manual ada elemen sanitasi daurat yang disediakan untuk warga, seperti WC bekas atau rusak yang dirakit kembali dalam tenda darurat.
Apresiasi Pemerintah
Berdasarkan sistem yang dibuat UR, warga mendapatkan beberapa model intensif. Salah satunya adalah subsidi dalam tahapan pelaksanaan proyek. Skema pemberian subsidi untuk tahapan upgrading-project di Kyojima ini cukup beragam. Mulai dari tahap demolisasi bangunan, tahap membayar jasa arsitek, tahap jasa konstruksi, ataupun kombinasi dari sebagian atau seluruh tahapannya. Yang pasti, subsidi ini tetap bertujuan mendorong sistem chonakai (komunitas warga perkotaan) tetap berlangsung untuk melakukan sistem swadaya dan mengorganisir tabungan ‘bersama’, demi mewujudkan hunian warga yang layak dan terjangkau.
Selain pemberitan subsidi, pihak pemerintah juga memberikan keringan pajak lahan co-housing-nya. Siapakah pemilik lahan atau yang membayar, tentunya juga berangkat dari hasil perumusan penghuni co-housing tersebut.
Penataan adalah Pintu untuk Menemukan Solusi Bersama
Berdasarkan hasil diskusi, situasi kepemilikan di permukiman informal ini cukup rumit. Identifikasi kepemilikan ini digambarkan berdasarkan kombinasi aktornya (A-B-C). Contohnya, kombinasi AAB terjadi jika satu pihak memiliki lahan dan bangunan berbeda dengan pengguna bangunan (penyewa). Situasi lain juga bisa dari kombinasi ABC, jika pemilik lahan, pemilik bangunan, berbeda dengan pengguna lahan dan pengguna bangunannya. Menurut pihak UR dan NPO yang kami temu, situasi rumit ini masih sering ditemui dan masih menjadi tantangan dalam penataan permukiman.
Mungkin kombinasi kepemilikan yang lama juga terjadi akibat desakan ekonomi warga setempat, seperti adanya usaha sewa lahan dan/atau bangunan (hal ini sering terjadi di Kampung Kota Jakarta). Desakan ekonomi inilah yang kemudian menjadi masalah jika tidak disadari dan diantisipasi dalam perencanaan hunian vertikal komunal (co-housing). Oleh sebab itu, perencanaan penataan ini memakan waktu yang tidak sebentar; pemerintah dan warga perlu sabar dan tetap percaya satu sama lain.
Rumitnya situasi kepemilikan ini menjadil kendala sekaligus tantangan bagi semua pihak, terutama komunitas terdampak. Sejauh informasi yang kami dapat, pada ujungnya skema kepemilikan yang disepakati adalah kepemilikan bangunan (unit) dimiliki per orangan, sementara lahan adalah kepemilikan komunitas. Jikapun dibutuhkan, pihak ketiga diluar kombinasi ABC, dapat masuk sebagai bagian dari pemilik bangunan dan/atau lahan.
Jika kita mengingat kembali, bahwa pembahasan penataan permukiman ini adalah berbasis pembentukan komunitas, bukankah skema penyelesaian kepemilikan tersebut terjadi setelah melakukan penataan secara sungguh-sungguh terlebih dahulu?
Kita perlu memiliki visi panjang dan keyakinan untuk menghadapi masalah kepemilikan dalam konteks penataan permukiman masyarakat. Jika kebutuhan kesediaan hunian layak komunitas sudah tercapai paska penataan, sangat status kepemilikan atau klaim bergeser ke kesadaran yang lebih fundamental untuk menghadapi tantangan hunian layak dan terjangkau di masa depan.
Jika kita memahami kembali makna machizukuri dan hubungannya dengan kapital sosial (lihat seri artikel Menjajaki Sesaat Permukiman di Kota Jepang lainnya), maka sesungguhnya keberlangsungan penataan permukiman berkelanjutan melalui model hunian vertikal komunal berbasis pembentukan komunitas dapat dilestarikan.
Membuat Perbandingan itu Bisa Hal Fundamental
Berefleksi dari hasil studi banding ini, serta segala upaya peningkatan kualiatas permukiman padat di Jakarta, kita perlu melakukan evaluasi ke depan. Saya tahu, kita tidak bisa membandingkan kasus Jakarta dan Jepang secara saklek. Terlepas dari mereka memiliki ancaman bersama gempa bumi, menerapkan teknologi super canggih, kota dan masyarakatnya seringkali dianggap ‘”lebih modern”, bukan berarti juga tidak ada hal yang bisa kita ambil dan bandingkan.
Dalam konteks melakukan penataan, hal yang paling mendasar adalah kita semua perlu berkaca untuk mengerjakan sesuatu dengan penuh pertimbangan dan penuh ketelitian, kepekaan yang tinggi, kepercayaan satu sama lain, kesabaran, serta keinginan untuk saling memajukan dan meningkatkan siapa yang kita anggap sebagai warga kota Jakarta.
Dari studi banding Jepang ini, saya melihat adanya upaya dari pihak pemerintah, warga, maupun pihak lainnya untuk ‘menyiapkan’ diri masing-masing dan meresapi hal-hal mendasar tersebut di setiap tahapan yang mereka lalui (tentu ini dilakukan sesuai kapasitasnya masing-masing). Berangkat dari hal-hal inilah, keterbatasan, kegagalan, serta pencapaian yang mereka dapat, tidak menghalangi kualitas (tangible) perencanaan tetap komprehensif, rinci, progresif, dan menghasilkan rancangan pembangunan yang berkelanjutan.
Bukan hanya orang Jepang saja yang memiliki machizukuri. Kita perlu mengingat kembali semangat leluhur yang sejatinya kita miliki, yaitu “gotong-royong”. Memang, kini semangat ini menjadi tantangan bagi kita untuk memupuknya lagi di era sendiri-tetap-serba-bisa. Dalam studinya, Ivan Rismayanto (2016) mengungkapkan ada pergeseran nilai “gotong-royong” yang sudah terjadi.
Jika kita kaitkan dengan pembahasan disini, bukankah berarti kegiatan menata hunian bersama menjadi salah satu cara tepat untuk melestarikan kembali “gotong-royong” ke dalam keseharian masyarakat kita?
Selain terus belajar dan berkaca dari siapapun, kita tetap perlu berupaya menyusun inovasi skema kolaborasi dan metode perencanaan berbasis komunitas, serta mengembangkan model rancangan penataan yang dianggap lebih ‘baik’. Dan yang terpenting, semua pihak yang berkolaborasi dalam upaya ini perlu menanamkan komitmen dan konsistensi satu sama lain. Dengan begitu, melakukan partisipasi yang sungguh-sungguh benar adanya akan mewujudkan Jakarta sebagai kota layak huni bagi semua kalangan masyarakatnya.
Artikel ini merupakan sebuah contoh gambaran umum pelaksanaan penataan dari pihak pemerintah di Sumida. Artikel ini tidak membahas secara mendalam terkait konsep machizukuri itu sendiri, juga gambaran penerapannya di kota lain.
[Baca juga: seri artikel MENJAJAKI SESAAT PERMUKIMAN KOTA DI JEPANG: BERSAMA WARGA MENATA PERMUKIMAN TERPADU DI KOTA JEPANG ].
https://www.ur-net.go.jp/aboutus/publication/fehv9e00000000zq-att/profile_en_all.pdf. Diakses pada 26 April 2019. https://open_jicareport.jica.go.jp/pdf/11882552_02.pdf. Diakses pada 26 April 2019 https://www.japantimes.co.jp/community/2013/12/16/issues/kyojima-tokyos-epicenter-of-disasterrisk/#.XKxR2_ZuLtQ. Diakses pada 26 April 2019. Rismayanto, Ivan. 2016. Pergeseran Nilai-Nilai Gotong Royong pada Masyarakat Kelurahan Gegerkalong Kecamatan Sukasari Kota Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia. Diakses dari http://repository.upi.edu/23435/5/S_SOS_1106447_Chapter2.pdf, pada 20 April 2019
Pingback: MENJAJAKI SESAAT PERMUKIMAN KOTA DI JEPANG: MENGENALI MACHIZUKURI - Rujak
Pingback: MENJAJAKI SESAAT PERMUKIMAN KOTA DI JEPANG: BERSAMA WARGA MENATA PERMUKIMAN TERPADU DI KOTA JEPANG - Rujak