oleh: Indriani Pratiwi
Machizukuri sebagai Roh Partisipasi
Artikel ini merupakan artikel pertama dari seri artikel “Menjajaki Sesaat Permukiman Kota di Jepang”. Seri artikel ini sendiri dibuat untuk berbagi pengalaman serta pembelajaran dari kegiatan studi banding RCUS di Jepang pada bulan Maret 2019 lalu.
Pada artikel pertama ini, saya ingin mengajak kita semua untuk mengenal machizukuri. Saya sendiri baru mengenali istilah kata jepang ini saat persiapan studi banding. Dengan membaca beberapa sumber literatur, hasilnya saya bandingkan dengan pengamatan langsung di Jepang.
Istilah kata Jepang ini selalu muncul dalam pembahasan perencanaan kota Jepang. Kata “machizukuri” berasal dari dua kata dengan arti yang berbeda. Pertama, kata “machi”, yang berarti komunitas, serta lingkungan terbangun dimana komunitas itu hidup. Kedua, kata “zukuri”, yang berarti upaya untuk membuat atau membangun dengan penuh perhatian (Kasukabe, 2013).
Bagi masyarakat Jepang, machizukuri dianggap sebagai proses; serangkaian upaya untuk membangun, merubah, ataupun meningkatkan kualitas lingkungan tinggal warga, tanpa meninggalkan nilai dan lokalitas di lingkungan tersebut. Al ini sesuai dengan Atsuko Ito (2007) sampaikan, bahwa selalu ada proses trial-and-error. Sehingga, mereka menyadari bahwa rata-rata proses yang disebut Emiko Kusakabe (2013) sebagai community-government engagement sudah pasti memakan waktu bertahun-tahun.
Berdasarkan hasil diskusi lapangan, arti machizukuri bukan lagi dimaknai sebagai teori atau konsep di atas kertas perencanaan semata. Machizukuri sudah diterapkan secara nyata dan sungguh-sungguh dalam melakukan partisipasi. Melakukan machizukuri adalah melakukan partisipasi secara mengakar; sebagai bentuk kolaborasi sekaligus emansipasi.
Kolaborasi ini membutuhkan keterlibatan multipihak. Warga perlu bekerja sama dan berjejaring dengan berbagai pihak. Pihak warga sendiri diwakili organisasi lokal masyarakat di wilayah permukiman tertentu. Jika dibandingkan dengan kondisi di Indonesia, organisasi ini seperti tingkat paguyuban atau kelompok masyarakat setempat.
Menurut Profesor Atsuko Ito (2007) dalam artikelnya yang berjudul “Earthquake reconstruction machizukuri and citizen participation”, beberapa jenis organisasi lokal di permukiman Jepang adalah tipikal organisasi tradisional, seperti “jichikai” dan “chonaikai” (asosiasi tetangga), serta “shotengai kumiai” (asosiasi pedagang jalanan).
Selain itu, tipikal organisasi yang lebih modern adalah Neighbourhood Association (NA), sebagai bentuk adaptasi dari “jichikai” dan “chonaikai”, serta Machizukuri council, sebagai bentuk organisasi yang memiliki jumlah partisipan di atas skala asosiasi tetangga (Funck, 2007; Ito, 2007). NA dinilai sebagai bentuk organisasi yang paling populer dikalangan rumah tangga, atau sekitar 90% warga lokal membentuk NA di area permukiman di Jepang (Ito, 2007).
Organisasi warga ini juga didampingi oleh kalangan profesional, kalangan akademisi, relawan (tim atau individual), dan Non-Profit Organization (NPO). Di setiap lokasi kunjungan, hampir semua pihak ini kami temukan. Merekalah yang berperan mendampingi warga untuk menghadapi permasalahan (peningkatan kapasitas), serta menjaringkan warga dengan pihak luar sesuai kebutuhan (Kusakabe, 2013).
[Baca juga: seri artikel MENJAJAKI SESAAT PERMUKIMAN KOTA DI JEPANG: MACHIZUKURI DI MATA PEMERINTAH JEPANG ]
Melihat Wujud Nyata Machizukuri
Sekali lagi, machizukuri bukanlah proses yang cepat. Perencanaan yang dilakukan dengan machizukuri ini selalu dilakukan secara bertahap dengan intervensi yang tidak masif. Menurut Sorensen dan Koizumi (2009), kita dapat mengenali machizukuri dari cara pendekatan pelakunya.
Pertama, skala spasial yang diterapkan seringkali kecil. Selain itu, cakupan organisasi lokal yang telibat fokus merangkul komunitas dalam satu area setempat. Dengan begini, jaringan organisasi lokal dalam satu kawasan menjadi lebih banyak dan representatif per areanya.
Kedua, umumnya tujuan kegiatan perencanaan adalah untuk menciptakan ruang bersama (common space). Metodenya seringkali dengan meregulasi peningkatan dan pemeliharaan dari ruang yang sudah ada (re-upgrading project) atau membangun baru dengan mengangkat konsep lokal terkait ruang bersama.
Ketiga, partisipasi selalu menekankan keaktifan organisasi dari para anggotanya (warga). Dalam hal ini, bentuk partisipasi bukan hanya kehadiran saja. Warga harus terlibat untuk membuat pertimbangan dan mengambil keputusan. Dengan pendekatan inilah yang dapat mendorong warga untuk membentuk ruang bermusyawarah dan bermufakat di tahapan kegiatan.
[Baca juga: seri artikel MENJAJAKI SESAAT PERMUKIMAN KOTA DI JEPANG: MACHIZUKURI DALAM UPAYA MENATA PERMUKIMAN TERPADU DI KOTA JEPANG ]
Esensi Machizukuri: Kapital Sosial
Dalam pelaksanaan riil, prinsip machizukuri diterapkan secara kolaboratif oleh berbagai kalangan dan beragam cara. Dari kegiatan tingkat masyarakat akar rumput, kegiatan sosial oleh para relawan ataupun kalangan profesional, hingga program pembangunan pemerintah, dalam kurun waktu yang cukup panjang (Kusakabe, 2013).
Melalui prinsip ini, melakukan machizukuri dapat menghasilkan sekaligus memupuk kapital sosial (social capital). Kapital sosial ini berguna untuk membangun dan meningkatkan kualitas ruang kota yang berkelanjutan dan inklusif. Sorensen dan Funk (2007) berpendapat bahwa kapital sosial menjadi modal utama untuk membentuk self-governence di kalangan masyarakat.
Pihak pemerintah Jepang pun menyadari hal tersebut. Self-governence mampu meningkatkan partisipasi masyarakat yang berkualitas, sehingga upaya pembangunan kota tidak berat hanya di tangan pemerintah.
Emiko Kasukabe (2013) juga menyatakan bahwa perencanaan berbasis komunitas dapat dijadikan sebagai wadah yang tepat untuk menggali dan mengakumulasikan kembali nilai kapital sosial tersebut. Dalam ranah perencanaan, memupuk kapital sosial bukan hanya menjadi kebutuhan untuk mempererat relasi internal komunitas. Jika semakin tinggi nilai kapital sosial yang dihasilkan, maka tingkat keberlanjutan (hasil perencanaan) pun turut meningkat. Memupuk kapital sosial berlaku untuk pihak manapun; ia menjadi modal bagi semua aktor untuk memperkaya jaringan, memperdalam keterlibatan, dan menjalin kepercayaan satu sama lain dalam pembangunan kota yang lebih berkelanjutan.
Artikel ini hanya membahas pemahaman machizukuri secara umum dalam konteks penataan permukiman padat kota di Jepang. Artikel ini belum cukup menggambarkan keseluruhan sistem dan mekanisme terkait penataan, serta hasil pemantauan dan evaluasi lapangan yang lebih rinci (baca seri artikel Menjajaki Sesaat Permukiman di Kota Jepang lainnya).
Fletcher, Scott. 2016. Machizukuri. Diakses dari https://participedia.net/en/methods/machizukuri, pada 20 Februari 2019. Funck, Carolin. 2007. Machizukuri, Civil Society, and the Transformation of Japanese city planning: Cases from Kobe. Artikel dalam Living Cities in Japan: Citizens’ movements, machizukuri, and local environments. New York: Routledge. Ito, Atsuko. 2007. Earthquake Reconstruction Machizukuri and Citizen Participation. Artikel dalam Living Cities in Japan: Citizens’ movements, machizukuri, and local environments. New York: Routledge. Kasukabe, Emiko. Advancing Sustainable Development at The Local Level: The Case of Machizukuri in Japan Cities. Artikel dalam Jurnal Elvisier Progres in Planning, Februari 2013, vol. 80, hal. 1-65. Diakses dari https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0305900612000803?via%3Dihub, pada 13 April 2019. Rismayanto, Ivan. 2016. Pergeseran Nilai-Nilai Gotong Royong pada Masyarakat Kelurahan Gegerkalong Kecamatan Sukasari Kota Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia. Diakses dari http://repository.upi.edu/23435/5/S_SOS_1106447_Chapter2.pdf, pada 20 April 2019. Sorensen, André, dan Carolin Funck. 2007. Living Cities in Japan. Artikel dalam Living Cities in Japan: Citizens’ movements, machizukuri, and local environments. New York: Routledge. Sorensen, André, dan Hideki Koizumi. 2009. Machizukuri, Civil Society, and Community in Japan Society. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/269037740_Machizukuri_Civil_Society_and_Community_Space_in_Japan., pada 8 April 2019. Shea, Neil. 2019. “Walking Tokyo: A Journey Through the Rich Textures of Japan’s Vibrant, Reinvented Megacity”. National Geographic April. 2019: 38.
Pingback: MENJAJAKI SESAAT PERMUKIMAN KOTA DI JEPANG: BERSAMA WARGA MENATA PERMUKIMAN TERPADU DI KOTA JEPANG - Rujak