Kampung dan Kota Jakarta bagaikan wajah koin yang tak terpisahkan. Bahkan jika kita membuka peta Batavia, lokasi dan nama kampung-kampung terpetakan dengan jelas dan gamblang serta berdampingan dengan permukiman formal yang dibangun Pemerintah Kolonial Belanda. Maka tak heran jika Jakarta kerap disebut sebagai kampung besar. Sejumlah organisasi beranggapan bahwa peran kampung tersebut penting dirayakan melalui Hari Kampung.
Terlalu banyak penelitian, jurnal dan buku tentang bagaimana Jakarta sebagai kota bertumpu pada kampung. Bahkan dalam momentum paling kritis dan sangat menentukan, seperti peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pun tak dapat dipisahkan dari kampung dan orang kampung. Mereka yang mayoritas hadir dalam peristiwa Proklamasi itu. Mereka pula yang pada tanggal 19 September 1945, dua ratus lima puluh ribu orang dari berbagai kampung kemudian berbondong-bondong berjalan kaki menuju Lapangan Ikada (sekarang Monas) untuk menyelamatkan Proklamasi dari tuduhan buatan segelintir elit dan hanya pemberian Jepang. Rapat besar Ikada itulah yang mampu meyakinkan dunia bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah kemauan banyak orang juga hasil perjuangan rakyat banyak.
Jakarta adalah kota yang berutang budi pada orang kampung. Hingga kini, kampung berfungsi sebagai penyedia hunian dan berbagai bahan konsumsi dengan harga terjangkau bagi kota. Menurut Ali Sadikin, kampung menjadi tempat orang belajar menjadi orang Indonesia. Kampung menjadi pemukiman khas banyak kota Indonesia, termasuk Jakarta; sesuatu yang organik dan tumbuh dari interaksi dan kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan politik antara penduduknya. Sebab itu Sukarno ketika membangun Jakarta mewanti-wanti agar bukan hanya megah boulevard-boulevardnya, gedung-gedung tingginya, jalan-jalan rayanya; tetapi juga kemegahan itu terutama harus terasa sampai di gubuk-gubuk orang kampung.
Namun, keunikan kampung belum sepenuhnya dipahami oleh perencana, pemerintah dan kebanyakan masyarakat. Pemerintah dan perencana kota melalui kebijakannya telah mengurangi keragaman, dan dinamika kampung menjadi konsepsi tunggal di mana kampung kemudian diidentifikasi sebagai wilayah kumuh yang membutuhkan “pembersihan”. Alih-alih mengakui kampung sebagai cara hidup dan bentuk morfologi permukiman, pemerintah kota memilih penggusuran paksa sebagai metode pembersihan, memaksa warga kampung yang memenuhi syarat untuk pindah ke rusunawa.
Untuk itu, sangat penting agar pemerintah mulai memperhatikan tentang kampung dan memahaminya. Untuk itu, Rujak Center for Urban Studies, Komunitas Bambu, sejarahjakarta.com, Urban Poor Consortium, Abdi Rakyat, Forum Komunikasi Tanah Merah Bersatu dan Jaringan Rakyat Miskin Kota sejak 19 September 2019 telah bekerja sama untuk mendorong terwujudnya kebijakan dan produk hukum yang mampu memajukan, meningkatkan ketahanan dan kualitas kampung di kota melalui perlindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan kampung kota. Awalnya adalah mendorong adanya Hari Kampung, sekaligus juga mengenang jasa orang kampung pada perjuangan Kemerdekaan.
Selama tahun 2020, Koalisi organisasi tersebut akan dan sedang melakukan rangkaian kegiatan termasuk diantaranya Pameran Kampung Kota dari Masa Kolonial sampai Milenial. Kegiatan lainnya termasuk penyusunan naskah akademis, pemetaan kampung serta persiapan kongres kampung kota yang harapannya bertepatan dengan Hari Kampung di 19 September. Koalisi juga membuka kesempatan masyarakat umum untuk terlibat dan menjadi #KawanKampung dalam rangka memetakan keunggulan, keunikan dan budaya serta “harta karun” di dalam kampung kota bersama dengan berbagai warga kampung. Untuk informasi #KawanKampung silakan hubungi
#HariKampung #19September