Oleh: Hanif Ibrahim, Dinda Ayu, dan Dzaki Darmawardana
Siang itu ombak air laut sedang tenang, kapal yang kami tumpangi dari Kampung Susun Akuarium dengan mudah mengarungi lautan pesisir Jakarta. Kapal Pak Pahruji, salah satu nelayan yang tinggal di Kampung Susun Akuarium, berhenti di depan bangunan terbengkalai yang telah digenangi air laut dan hanya tersisa sisa-sisa struktur bangunannya saja. Yang kami lihat siang itu adalah Masjid Wal Adhuna, masjid di Muara Baru yang termahsyur sebagai bukti ketertenggelaman kota Jakarta. Setelah kami singgah di Muara Baru, kami melanjutkan perjalanan dan berhenti ke permukiman nelayan tradisional di Muara Angke, Jakarta Utara.
Mitos Sisyphus Jakarta
Bagi mereka yang tinggal di pesisir, penurunan muka tanah dan banjir rob adalah hal lumrah yang terjadi setiap di lingkungan rumah mereka. Perjalanan kami dilanjutkan dengan menambatkan perahu di tambatan perahu nelayan tradisional, lalu menginjakan kaki di atas tanggul laut yang dibangun Pemerintah Jakarta pada awal dekade 2000-an. Berdasarkan penuturan warga, mula nya titik tertinggi tanggul laut ini berada jauh di atas permukaan air laut dan atap-atap permukiman warga. Namun saat ini, rumah-rumah sudah menyusul tinggi tanggul, titik tertinggi tanggul juga sudah hampir setara dengan air laut, bahkan saat air pasang tiba tinggi air laut melewati tanggul dan membanjiri permukiman warga.
“Kita perhatikan ini air pasang ini juga dulu tanggul itu jauh sekali ke air tapi sekarang sudah luber ke dalem..” ucap salah satu warga.
Layaknya Sisyphus yang dikutuk untuk menjalani hukuman abadi dengan mendorong batu ke atas bukit hanya untuk melihat batunya menggelinding ke bawah berulang-ulang, Pemerintah Jakarta dan warga Muara Angke yang kami temui harus bersusah payah untuk meninggikan tanggul dan meninggikan rumah-rumah mereka hanya untuk melihat rumah nya kembali digenangi banjir air rob lagi. Pemerintah seringkali mengatasi banjir rob dengan meninggikan jalanan warga tanpa memikirkan rumah warga yang akhirnya jadi lebih rendah dari jalanan. Alhasil rumah-rumah semakin rendah dan warga harus mengeluarkan uang sendiri untuk meninggikan rumah mereka kembali. Aktivitas renovasi rumah warga untuk meninggikan lantai ini juga tidak murah. Kadang, satu rumah harus merogoh kocek hingga puluhan juta setiap kali meninggikan rumahnya dan semuanya menggunakan biaya pribadi warga.
Muara Angke sendiri merupakan salah satu wilayah pesisir Jakarta Utara yang sudah biasa mengalami banjir rob. Warga juga sudah menyadari bahwa kondisi lingkungan mereka sekarang semakin parah, seperti tanah yang semakin turun dan air pasang yang semakin tinggi. Kondisi yang dialami warga tidak lepas dari fenomena land subsidence atau penurunan muka tanah yang berakibat semakin parahnya genangan banjir rob dan rumah yang terus-menerus semakin rendah. Kejadian penurunan muka tanah ini tidak hanya terjadi di Muara Angke. Warga di salah satu kampung di Muara Baru, juga bercerita hal serupa:
“Dulu kan tinggian daratan daripada lautan. Orang kita sempet main (berenang di laut depan rumah) kok ini… Pokoknya kalau udah mulai air luber, wah anak-anak pada berenangan.
Makin tahun makin kesini banjirnya tuh makin naik. Jadi udah akhirnya tanah ini turun sekarang tinggian lautnya daripada daratan.”
Di Pesisir Jakarta, negara–lewat proyek infrastrukturnya seperti tanggul laut–juga dikutuk oleh kutukan Sisyphus. Sebagai solusi jangka pendek untuk mengatasi dampak lingkungan akibat land subsidence, tanggul laut memang terbukti mujarab untuk meredakan persoalan sehari-hari warga seperti banjir rob. Meski demikian, sebagaimana diilustrasikan warga di Muara Angke, akibat muka tanah yang semakin turun, tanggul laut yang digunakan untuk melindungi kawasan daratan lama kelamaan juga ikut tenggelam, sementara permukaan air laut juga semakin meningkat (walau tidak signifikan) akibat krisis iklim. Kondisi ini mendorong perlunya tata kelola terkait penanganan penurunan muka tanah yang baik.
Sejatinya, Pemerintah Jakarta dalam hal ini dianggap sudah selangkah lebih maju dalam penanganan land subsidence daripada daerah Pantura Jawa lainnya yang menghadapi persoalan serupa. Penanganan land subsidence di Jakarta sudah coba dilakukan oleh Dinas Sumber Daya Air (DSDA) Provinsi DKI Jakarta. DSDA DKI Jakarta saat ini telah memiliki wewenang dalam kegiatan pengawasan land subsidence dan juga program-program pencegahannya. Dengan wewenang yang diberikan, badan ini dapat melakukan penerapan berupa Peraturan Zona Bebas Air Tanah dan pembuatan regulasi dukungan dan percepatan program penyediaan air bersih. DSDA DKI Jakarta juga sudah memiliki sistem monitoring land subsidence untuk berbagai titik rawan di Jakarta. Meski begitu, badan ini juga masih memiliki banyak PR untuk terus mengatasi land subsidence di Jakarta, salah satunya bagaimana bisa menerapkan program dan regulasi yang benar-benar efektif. Belum meratanya sistem pengawasan, serta penerapan program dan regulasi akan land subsidence yang sama di wilayah-wilayah rentan juga perlu menjadi pertimbangan Pemerintah Indonesia secara nasional dan regional untuk dapat mencegah land subsidence secara efektif.
Jakarta Tidak Sendiri
Tim Rujak Center for Urban Studies berkesempatan untuk menghadiri LaSII Scientific Conference 2024 pada tanggal 24 Juli 2024 yang diadakan Jakarta. Acara ini diikuti oleh negara-negara belahan utara (Global North) seperti Jepang, Tiongkok, Italia, Meksiko dan Amerika Serikat, yang sudah melakukan kajian mengenai land subsidence sejak sekitar tahun 1970 di bawah UNESCO. Dari sini kami mendapatkan pelajaran akan kajian pengetahuan, pengawasan, dan pencegahan land subsidence secara holistik. Dari hasil pembelajaran kami dalam conference tersebut, fenomena land subsidence di berbagai belahan dunia terjadi di daerah yang memiliki kesamaan kondisi geografis, seperti daerah pesisir, tanah reklamasi, delta, dataran banjir, kipas aluvial, lembah, daerah rawan gempa, dan daerah kering yang beberapanya saat ini terjadi di Indonesia. Dalam definisinya penyebab berupa pengambilan air tanah maupun terjadinya kekeringan dapat mengurangi ruang di dalam tanah menjadi kosong sehingga tanah akan mengisi ruang kosong tersebut (compaction) dan membuat tanah yang tadinya di atas menjadi turun. Hal ini memberi kerentanan saat, terjadinya land subsidence dampak akan dirasakan apabila terjadinya banjir rob yang meluas dan menggenang dalam waktu lama serta terjadinya longsor yang mengakibatkan kemiringan dan ketegangan struktur pada bangunan.
Kami belajar, bahwa fenomena land subsidence terjadi dalam berbagai kasus. Dalam kota-kota besar yang memiliki penduduk dan bangunan yang padat baik pemukiman, bisnis dan industri umum mengalami land subsidence. Sebagai contoh di Tokyo, Jepang, dalam jangka waktu 1900 sampai 1970 diketahui bahwa tanah di Tokyo turun sampai 4,5 m. Kota lainnya di Jepang seperti Osaka juga mengalami hal yang sama pada 1965 hingga 1975 mengalami penurunan muka tanah sebesar 2,5 m. Di negara ASEAN lain seperti Bangkok, Thailand, diteliti mengalami penurunan muka tanah sebesar 1,3 m dalam jangka waktu 55 tahun (1935 hingga 1980). Di Indonesia sendiri, Pietro Teatini (Chairman LaSII) dalam presentasinya, menuturkan bahwa telah terjadi penurunan muka tanah sebesar 3,5 m dari tahun 1980 hingga tahun 2010. Penurunan muka tanah ini sendiri masih berlanjut dan belum menemukan titik stabilnya kembali. Tidak hanya daerah pesisir dan kota-kota besar, beberapa negara juga mempresentasikan dampak land subsidence pada sektor agrikultur yang berpengaruh terhadap pendapatan dan pasokan dari sektor pertanian di Amerika dan Iran karena kekeringan, serta land subsidence di wilayah bekas tambang yang memberi bencana longsor besar yang terjadi di Yunani dan Polandia.
Manajemen land subsidence menjadi topik utama yang dibahas dalam LaSII Scientific Conference 2024 kemarin. Dalam presentasi keseluruhannya, tanah akibat land subsidence dapat ditahan, bahkan juga dapat mengalami kenaikan karena kondisi-kondisi tertentu, seperti seringnya terjadi hujan (kasus ini terjadi di Amerika) dan juga kondisi ekonomi yang berhenti beroperasi (sebagai contoh berhentinya kawasan industri di Yunani). Dalam usaha tersebut, Negara Amerika, Tiongkok, dan Jepang menerapkan perlakuan pembatasan penggunaan air tanah dan melakukan rekayasa pengisian air tanah untuk membantu penyimpanan air tanah. Negara-negara lainnya juga sangat ketat dalam hal pengawasan land subsidence, seperti Negara Amerika, Tiongkok, Taiwan, Itali, Jepang, dan Iran aktif melakukan monitoring laju penurunan muka tanah, baik secara spasial, pada permukaan tanah, dan juga monitoring dari dalam tanah (Space-Ground-Underground Monitoring System). Adanya sistem yang memadai ini juga dapat dilakukan tentunya karena adanya dukungan investasi dan regulasi oleh pemerintah baik secara nasional, maupun regional. Sebelum menuju kepada semua hal tersebut dasar dukungan ini yang sangat penting dalam pembelajaran kami.
Masuk ke dalam kasus land subsidence Indonesia, berita dan desas-desus mengenai Jakarta yang akan tenggelam di tahun 2050 sudah sering kita temui di media sosial. Begitu pula kota-kota pesisir lainnya, terutama di wilayah Pantai Utara (Pantura), seperti Semarang, Demak, Pekalongan yang juga kini mengalami banjir rob lebih parah. Penelitian terkait land subsidence oleh T.P. Sidiq, dkk (2021) menunjukkan bahwa dari tahun 2016-2020, tiga kota besar di Pantura, yakni Jakarta, Semarang, Demak, dan Pekalongan mengalami penurunan tanah yang cukup tinggi. Kota Semarang menjadi kota yang paling besar penurunan tanahnya, mencapai 8 cm/tahun, diikuti Kota Pekalongan sebesar 7 cm/tahun, dan Kota Jakarta sebesar 5 cm/tahun. Penurunan muka tanah ini akhirnya memperparah wilayah pesisir karena kenaikan air laut (sea level rise) yang terjadi ditandai dengan air laut pasang semakin tinggi dan banjir rob yang semakin parah dan lama menggenang di area permukiman warga yang tinggal di pesisir.
Pengendalian Land Subsidence dapat dilakukan dengan melakukan pencegahan atau mitigasi dan pengawasan. Namun sejauh ini, Pemerintah Indonesia belum secara menyeluruh melakukan kedua hal tersebut. Malahan, Pemerintah kini dalam proses pembuatan Giant Sea Wall atau tanggul raksasa di laut Jakarta dan akan dilanjutkan sepanjang Pantura di Jawa Tengah berdasarkan pernyataan para menteri dalam Seminar Nasional berjudul “Strategi Perlindungan Kawasan Pulau Jawa melalui Pembangunan Tanggul Pantai dan Tanggul Laut” 10 Januari 2024 lalu (Pribady, 2024). Pembuatan Giant Sea Wall ini dinyatakan sebagai cara yang efektif untuk perlindungan pesisir Pulau Jawa. Padahal, dibandingkan dengan pertahanan terhadap air laut, kondisi land subsidence sebenarnya lebih perlu mendapatkan perhatian karena dampaknya juga sudah banyak merugikan pemukim sekitar pesisir. Dalam penelitian yang dilakukan H. Z. Abidin, dkk (2015), praktik penanganan land subsidence di Indonesia baru sebatas melakukan pengawasan akan laju penurunan muka tanah dan hanya tercatat dilakukan tahun 1990-2013 di Jakarta, Semarang dan Bandung. Selain itu teknologi yang digunakan untuk mencatat data berbeda-beda di tiap wilayah. Selain kota-kota besar tersebut, masih banyak wilayah lainnya belum diteliti. Pencatatan data penurunan muka tanah juga dinilai masih menjadi data untuk penelitian saja atau dalam arti belum menjadi kesadaran pencegahan.
Dari sisi pemerintah sendiri yang dijabarkan dalam LaSII Conference, pemerintah menyatakan telah melakukan fokus penanganan land subsidence, yakni dengan membentuk Kelompok Kerja Indonesia untuk Land Subsidence yang berada di bawah naungan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Namun, dalam praktiknya, kelompok tersebut sejauh ini lebih berfokus tugas pada penelitian mitigasi dan adaptasi saja dan belum menjadi badan yang dapat mengendalikan land subsidence di Indonesia secara langsung. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Dr. Heri Andreas, S.T, M.T., dari Institut Teknologi Bandung (ITB), dalam presentasinya yang menyatakan bahwa Indonesia belum memiliki kewenangan dalam pengendalian land subsidence. Dalam regulasinya, Indonesia memerlukan badan atau agency sendiri yang bertanggung jawab terlebih dahulu untuk bisa melakukan tugas ini karena dari situ baru akan masuknya anggaran kegiatan. Ini yang menjadi gap dalam praktik manajemen land subsidence di Indonesia dan negara anggota LaSII akan pencegahan maupun pengawasan laju penurunan muka tanah. Sejauh ini selain Kota Jakarta, wilayah lainnya yang rentan akan land subsidence, seperti Semarang dan Demak, masih belum memiliki badan dan regulasi yang memadai. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan lebih lanjut dalam penanganan kasus-kasus land subsidence di Indonesia, sebelum terlambat dan kita benar-benar menjadi korban sinking cities seutuhnya.