Merombak Praktik Prencanaan Ruang

Sabtu, 15 Mei 2010, jam 12:00-15:30. Diskusi IAi-Jakarta: Peran Arsitek dalam Penataan Ruang

Ball room, Universitas Tarumanagara, Grogol

Merombak Praktik Perencanaan Ruang[1]

Oleh Marco Kusumawijaya[2]

Selama 40 tahun, tidak satu pun kota di Indonesia yang dapat menyatakan dirinya telah menjadi lebih baik berkat perencanaan ruang yang baik. Apa artinya ini?

Tentu saja kita dapat menumpahkan semua kesalahan pada hal-hal besar yang biasa: hegemoni ekonomi dan politik. Tetapi, apakah masuk akal menyalahkan “mereka”, sementara kita tahu bahwa tiap perencanaan ruang memang harus bekerja dengan politik ekonomi dan ekonomi politik?

Saya cenderung menduga ada yang salah secara mendasar pada praktik perencanaan ruang itu sendiri. Di dalam “praktik perencanaan ruang”, selain hal-hal yang biasa dibayangkan, saya mencakup hal yang dalam konteks kekinian menurut saya harus menjadi pusat perhatian, ialah epistemologi yang mendasarinya, serta hubungan-hubungan kepentingan-kepentingan yang melingkupinya.

Kasus Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2010-2030 mengagetkan warga dan para profesional generasi terkini dengan berbagai latar belakang berbeda seperti arsitektur, perencanaan kota, ilmu-ilmu lingkungan, sosial politik, ekonomi dan hukum, serta para pejuang kaum miskin kota dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

Yang terutama mengagetkan bukanlah sikap pemerintah yang menganggap “semua sudah dilakukan dengan baik sesuai dengan prosedur” dan BAU (Business as Usual), yang dapat diduga sejak awal dan sangat lazim diharapkan. Yang terutama mengagetkan adalah prosesnya yang tidak partisipatif dan kualitas sangat rendah dari Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) RTRW tersebut. Yang terakhir ini mau tidak mau menunjuk kepada para konsultan dan profesor universitas yang terlibat di dalamnya. Kalau kita beranggapan bahwa seharusnya para konsultan dan profesor itu memiliki kompetensi dan integritas akademik yang baik, maka patut diduga ada sistem operasional yang menyebabkan hasil kerjanya tidak bermutu.

Pada saat bersamaan, penting pula mencatat bahwa perjuangan Koalisi Warga untuk Jakarta 2030 sama sekali tidak (atau belum?) mendapat dukungan eksplisit dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) dan Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP), dua organisasi profesi yang paling berkepentingan tetapi—justru mungkin karena itu—paling tidak mau mendukung perjuangan koalisi tersebut. Sebagian pelaku dalam dunia perencanaan ruang Indonesia memiliki kompetensi yang didapatkan tanpa fondasi disiplin ilmu tertentu. Hal ini terjadi karena sekolah tinggi di Indonesia memperlakukan “perencanaan kota dan wilayah” sebagai jenjang S1, suatu jenjang yang seharusnya diberikan kepada “disiplin ilmu”, bukan pada “praktik” profesional tertentu seperti profesi perencanaan ruang itu.

Seorang wartawan asing berkata kepada saya, “Saya bingung bagaimana angle untuk menulis hasil wawancara dengan Anda, karena semuanya nampak begitu gamblang, jadi mengapa tidak ada perubahan, setelah 40 tahun, setelah 12 tahun reformasi?”

Hanya beberapa kemungkinan yang tersisa.

Pertama, adalah “wajar” terjadi peremehan terhadap peran perencanaan itu sendiri.  Sebab, selama 40 tahun perencanaan menjadi tidak ada gunanya. Pelanggaran-pelanggaran yang terus menerus dibiarkan atau dikecualikan dengan kekuasaan khusus (discretion) telah efektif menghapuskan kredibilitas perencanaan ruang.  Ini menimbulkan sinisme dan apatisme di kalangan masyarakat luas, dan sikap instrumentalis di kalangan birokrasi. Perencanaan ruang dianggap tidak perlu dibuat serius dan justru harus kabur dan umum sehingga mudah diubah oleh birokrasi berdasarkan keperluan pembangunan, menurut tafsir elit.

Ada epistemologi untuk membenarkan status quo di atas. Discretion yang besar  harus tetap ada pada birokrasi, yang bersama para ahli, memiliki monopoli atas pengetahuan yang benar untuk membuat keputusan-keputusan yang dianggap serba teknis, makro, dan mengabdi kepentingan lebih besar. Keputusan harus  diserahkan kepada “yang ahli”, bukan kepada “yang berkepentingan”. Kata “yang ahlinya” telah menjadi olokan yang sering digunakan untuk menyerang pencetusnya, Gubernur Fauzi Bowo. Saya tidak menggunakannya untuk itu, karena hal itu tidak penting. Saya menggunakannya sebagai suatu aikon dari suatu jaman, ketika tata ruang dianggap sepenuhnya otoritas mereka yang kompeten,  para “ahli” itu. Mereka lebih tahu gambar besar, kepentingan lebih besar, dan bagaimana rincian teknis segala sesuatu. Rakyat cukup menerima keputusan mereka yang dianggap dengan sendirinya akan adil dan benar. Tidak perlu dirinci kiranya, bahwa pemikiran yang naif ini memang berpura-pura dengan dua hal. Pertama bahwa segala hal dapat di-obyektif-kan secara teknis. Dan, kedua, para ahli dengan sendirinya obyektif, tidak punya bias dan kepentingannya sendiri. Kini, rupanya belum dimengerti benar, atau sengaja diabaikan, bahwa desentralisasi produksi ilmu pengetahuan sudah menjadi kenyataan. Selain itu, mungkin sekali ada ketakutan akan terbukanya kotak pandora, karena menyangkut kepentingan berbagai pihak, belum mampunya pemerintah melayani dan menyalurkan aspirasi serta kemampuan masyarakat membangun bersama. Hal ini terang benderang dan gamblang, tetapi untuk mengubahnya diperlukan kepemimpinan yang berani merombak.

Bahkan “yang berkepentingan” belumlah suatu konsep yang dikenal sebagai “rakyat”. Yang bekepentingan adalah pihak-pihak yang “berpengaruh”, ialah para elit, bukan rakyat kebanyakan. “Serahkan kepada yang ahlinya” adalah epistemologi khas orde baru dalam perencanaan ruang—dan mungkin dalam banyak hal lainnya—yang  dianggap sebagai masalah teknis semata, bukan masalah pilihan demokratis,  sebagai masalah “para ahli”, bukan masalah “warga yang berhak dan berkepentingan”.

Langkah awal yang merupakan kunci untuk melakukan reformasi adalah proses partisipasi warga secara penuh dan menentukan. Sebab, melalui ini, transparansi terjamin. Di bawah cahaya transparansi inilah kita bisa mengetahui persoalan lebih jelas, mana-mana yang perlu diubah, dan kita akan ubah. Untuk melaksanakan suatu perencanaan jangka panjang yang melewati masa jabatan politik, seperti RTRW Jakarta 2010-2030 ini, seharusnya dibentuk suatu Komisi dengan tugas khusus dan terbatas tetapi dengan wewenang yang luas untuk memmanfaatkan sumber daya kelembagaan yang ada. Komisi seperti ini lazim di banyak negara lain.

Berkat beberapa peraturan perundangan baru yang makin eksplisit memuat hak dan proses partisipatif, sebenarnya perencanaan ruang yang partisipatif bukan lagi sekedar aspirasi untuk masa depan, tapi sudah merupakan keharusan masa kini. Undang-undang itu antara lain adalah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik, Undang-undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

Kita hanya perlu terus mendesakkannya sebagai hak dan kebutuhan bagi masa depan yang lestari.

Kalau kita, termasuk para arsitek, hanya bertujuan produk “RTRW yang baik”, maka kita akan terjebak pada “yang baik menurut kita, arsitek”. Malah saya dengar ada arsitek yang mengharapkan suatu RTRW yang fleksibel, sehingga nanti para arsitek punya peluang besar membuatnya lebih baik (menurut arsitek). Ini kesalahan berpikir yang patut di hindari, karena akan mengembalikan kita kepada elitisme.

Itulah sebabnya kami menganggap peran kita sebagai “warga”  lebih mendasar daripada peran kita sebagai arsitek, dalam memperjuangkan proses yang baik ini. Tentu dalam hal lain, peran kita sebagai arsitek akan menonjol dalam kesempatan yang tepat.

Kalau kita semua kompeten sebagai arsitek, sudah pasti pertama-tama kita kompeten sebagai “warga”.

Ke-arsitek-an kita adalah plus point untuk membantu warga semua mencapai tujuan bersama. Kalau kita merasa “lebih”, maka kita harus memimpin dengan mengajak dan mengangkat warga lain, bukan dengan meminta privilese dan discretion power yang lebih besar.

Kalau tujuannya hanya “rtrw yang baik menurut kompetensi arsitek”, maka memang mudah mencapainya dengan lobby di balai kota.?Tetapi, itu akan berarti kita mengkhianati rakyat kita, rakyat Jakarta, yang sama sekali tidak mendapat peluang yang sama dengan kita (karena kita sarjana) untuk juga didengar di balai kota.

Karena itu, tujuan Koalisi Warga untuk Jakarta 2030 bukanlah sekedar hasil akhir RTRW 2030 yang baik, melainkan (proses) tata cara penyusunan RTRW 2030 yang baik. Visi Koalisi Warga untuk Jakarta 2030 adalah: Warga terlibat aktif  dan sepenuhnya sebagai pemangku-kepentingan utama dalam penyusunan RTRW Jakarta 2010-2030.

Kami percaya bahwa proses yang baik akan menghindarkan hasil yang buruk. Selain itu, proses yang baik, yang intinya mengandung proses partisipatif, punya peluang besar menghasilkan kota yang baik, karena proses yang partisipatif dapat menggerakkan rasa memiliki dan tindakan bersama.

Untuk itu tiga hal perlu dilakukan (misi Koalisi Warga untuk Jakarta 2030):

  1. Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan semua pihak untuk terlibat dalam proses partisipatif  dengan baik.
  2. Merombak praktik perencanaan ruang
  3. Meningkatkan kesadaran semua pihak tentang pentingnya pendekatan partisipatif.

Jakarta, 15 Mei 2010.

Marco Kusumawijaya

Direktur, Rujak Center for Urban Studies (RCUS)

editor www.rujak.org

mkusumawijaya@rujak.org

www.mkusumawijaya.wordpress.com


[1] Disampaikan pada Diskusi Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jakarta, Peran Arsitek dalam Penataan Ruang Jakarta, Sabtu 15 Mei 2010, Taruma Grand Ballroom, Universitas Tarumanagara.

[2] Direktur, Rujak Center for Urban Studies (RCUS); editor www.rujak.org; mkusumawijaya@rujak.org; www.mkusumawijaya.wordpress.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *