Oleh: Bosman Batubara
Menanggapi banjir yang melanda 25 RW (5-6 Februari 2018) yang berlokasi di sekitar Daerah Aliran Sungai Ciliwung, Wakil Gubernur DKI Sandiaga Uno menyatakan akan melanjutkan normalisasi sungai, serta membangun sodetan dari Kali Ciliwung ke Banjir Kanal Timur. Senada dengan itu Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan bahwa jangan terjebak pada normalisasi dan naturalisasi, yang penting aksi. Kira-kira begitu kata beliau. Aksi yang dia maksud adalah melebarkan dan mengeruk sungai. aksi yang disarankan oleh Sutopo diembeli dengan klaim kepakaran bahwa ia adalah doktor bidang hidrologi dengan penelitian utama di bidang konservasi air. Serta mengklaim paham watak banjir Jakarta.
Pernyataan kedua pihak tersebut perlu ditanggapi secara kritis dengan melihatnya sebagai proses pembedaan atau diferensiasi sosiospasial dan klaim kepakaran/teknifikasi.
Pernyataan Sandiaga Uno (SSU) adalah kebalikan dari apa yang mereka (Anies Baswedan dan SSU) gembar-gemborkan bahwa mereka akan menerapkan manajeman banjir “vertical drainage” sebagai antitesis terhadap “horizontal drainage”. Dalam penjelasan ketika kampanye, secara bersemangat AB-SSU menyatakan bahwa dalam konsep vertical drainage, air akan diresapkan ke dalam tanah/Bumi, tidak dialirkan secepatnya ke laut. Ini, menurut mereka ketika itu, sangat berbeda dengan konsep normalisasi sungai yang memiliki ideologi horizontal drainage, dimana air secepatnya disalurkan ke laut.
Namun, seperti cuplikan berita terkini yang ditampilkan sebagai ilustrasi, justru program yang ingin dilaksanakan SSU adalah normalisasi dan pembangunan sodetan, keduanya berideologi horizontal drainage. Jadi ideologi SSU terhadap penanganan banjir Jakarta telah berubah total.
Analisa berikutnya adalah mengapa terjadi penggeseran itu?
Karena ideologi horizontal drainage adalah yang paling mudah bagi mereka. Jika ingin tetap menerapkan vertical drainage, maka langkah yang harus dilakukan adalah menahan air Kali CIliwung, misalnya, di hulu dengan berbagai cara. Bagi AB-SSU ini tidak mudah, karena daerah Puncak, seperti Kabupaten Bogor dan sekitarnya secara administratif tidak berada di bawah Provinsi DKI Jakarta. Dan yang tak kalah penting, banyak para pemilik villa di Puncak adalah pejabat, orang kaya, serta fasilitas pemerinah nasional juga. Pendeknya, mereka adalah kelompok yang memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada warga penghuni bantaran kali.
Pembedaan perlakukan ini bisa disebut sebagai differensiasi sosiospasial. Baik Puncak dan hunian bantaran kali, sama-sama berkontribusi dalam mempersempit dan memperdangkal sungai–sebagai penyebab banjir Kali Ciliwung. Misalnya, deforestasi di Puncak (menurut satu data sekitar 5000 hektar hutan telah dibabat di daerah hulu Ciliwung dalam dekade pertama milenial ini), menyebabkan aliran air pemukaan ke Kali Ciliwung akan semakin banyak. Ini terjadi karena, misalnya, kemampuan mengintersepsi air hujan oleh hutan telah menurun/hilang. Dalam neraca air, kanopi hutan berfungsi mengintersepsi volume air yang turun dari langit, sebelum ia mencapai tanah.
Dengan demikian, air yang sampai ke tanah sekarang semakin banyak, dan mereka mengalir ke sungai. Seorang kawan diskusi saya di Bukit Duri memberikan satu perumpamaan yang menarik: dulu, sekitar tahun 1970an, demikian si kawan, jika ada satu gelas air jatuh dari langit maka separuh masuk sungai, dan separoh tertahan di pepohonon atau masuk ke dalam tanah. Sekarang, satu gelas air jatuh dari langit, satu gelas air masuk ke sungai.
Permasalahan lain, deforestasi telah menyebabkan naiknya intensitas pelapukan dan erosi di tanah-tanah di Puncak. Berbagai permodelan sedimen di Kali Ciliwung telah menunjukkan itu dengan jelas, bagaimana beban sedimen telah naik sangat drastis dalam beberapa dekade terakhir ini. Dan masih banyak bukti dan studi lain terkait relasi Puncak dan banjir.
Saya sedang tidak mengatakan hunian bantaran kali tidak mempengaruhi dinamika hidrologi sungai semacam Kali Cilwung. Yang saya permasalahkan adalah, kenapa tempat lain yang juga berkontribusi terhadap banjir tidak digusur? Inilah differensiasi sosiospasial di bawah pembangunan yang timpang. Satu hukum yang tak bisa dielakkan dalam proses pembangunan kapitalistik–yang kuat menang berkali-kali dengan ongkos yang dibebankan kepada yang lebih lemah, juga berkali-kali.
Pernyataan Sutopo, lain lagi. Jika ia mempelajari hidrologi berpuluh-puluh tahun, siapa yang bilang bahwa permasalahan banjir jakarta adalah permasalahan hidrologi (belaka; hidrologi: ilmu tentang air)? Sepanjang bertahun-tahun penggusuran di bantaran kali-kali, itu bukan soal hidrologi belaka, tapi ada manusia, ada tanah, dan sebagainya di sana.
Di titik ini, hidrologi terlihat bergitu kecil, dan hidrolog kacamata kuda tidak akan sama sekali mampu menangani persoalan ini. Klaim atas kepakaran itu, justru membuat Sutopo terlihat sangat dangkal. ia (sengaja) tidak memunculkan, atau tidak berhasil melihat (?), elemen lain dalam banjir (macam orang, tanah, kapitalisme). Dia mereduksi permasalahan sebagai permasalahan hidrologi yang sangat teknis dan dengan demikian menutup pintu bagi orang non-hidrologi untuk masuk. Yang bukan hidrolog, tidak boleh ikut campur. Ini adalah depolitisasi yang dilakukan dengan proses teknifikasi permasalahan. Sikap ini juga sangat kapitalistik, karena seakan-akan hanya yang memiliki kepakaran (kuasa; “pengetahuan adalah kekuasaan”) lah yang berhak menentukan kemana politik perbanjiran diarahkan.
Teknifikasi ala Sutopo sudah ditinggalkan di banyak tempat. Bukan karena apa2, hanya karena cara pandang itu terbukti telah gagal. Dunia sains kontemporer (setidaknya yang dapat saya akses dengan segala keterbatasan saya) menangkap ini dengan munculnya banyak terma yang berusaha memahami/menjelaskan permasalahan macam banjir Jakarta, misalny berbasis hidrososial, ekososial, sosiospasi dan lain-lain.
Bahayanya aksi tanpa diskusi filosofis gaya Sutopo adalah, dia tidak bisa memahami puzzle yang lebih makro dari satu masalah. Jadi, yang dibutuhkan bukanlah aksi, tapi satu pemikiran filosofis yang sekaligus operasional. Dan yang terakhir ini bukanlah utopia. Ada banyak contoh praktek yang telah dilakukan di kampung kota Jakarta maupun kota lain, misalnya ini.
Tulisan ini membuka pikiran kita, bahwa kemunculan solusi jitu memang sangat erat dengan sinergi dan bekerja sama. Terima kasih.