Penulis : Rahmadi Himawan, Mahasiswa Universitas Indonesia, Jurusan Sosiologi.
Urang banjar (sebutan bagi masyarakat banjar) sejak lama, memiliki berbagai kepentingan – dari edukasi hingga ekspresi artistik – yang diartikulasikan ‘dari mulut ke mulut’ dan diwariskan pada tiap lawan interaksinya. Tidak diketahui siapa menciptakan apa, atau seberapa besar modifikasi yang dialami pada apa yang disampaikan (ketika apa yang disampaikan telah berulang kali berpindah ke lain pihak). Rutinitas ‘menyampaikan’ ini terjadi di berbagai kesempatan dalam keseharian urang banjar: dari pernikahan hingga momen intim antara orang tua dan anak.
Sastra lisan urang banjar tercipta dari rutinitas komunal tersebut. Mantra, pantun, syair, lamut, madihin, andi-andi, sage, mite, fabel, legenda, atau cerita rakyat bersifat humor, adalah produk-produk sastra lisan yang mengemban pengalaman hidup dan memori kolektif urang banjar. Terlepas dari format ataupun muatan sastra lisan tersebut, terdapat ekspektasi akan tersampaikannya moral untuk mengarahkan ‘generasi penerus’ agar mereka mencapai ‘hidup yang lebih baik.’ Tradisi lisan, yang sifatnya inklusif dan cair dalam hal proses penciptaan ataupun arena distribusinya, tidak menemui perubahan apapun, bahkan hingga tulisan diperkenalkan pada masa pemerintahan Kerajaan Daha.
Tulisan: Dari Kuasa hingga Media Agama
Sumbangan Kerajaan Daha yang bercorak Hindu-Buddha terhadap perkembangan sastra banjar adalah diperkenalkannya aksara jawi dalam penulisan berbagai kitab-kitab. Tulisan Melayu baru diperkenalkan kemudian di abad ke-18 pada masa kejayaan Kesulatanan Banjar, dengan hadirnya berbagai hikayat yang mayoritas memuat silsilah ataupun cerita-cerita yang terkait pada tokoh-tokoh bangsawan dari kerajaan tersebut.
Ciri khas dari kitab-kitab tersebut adalah bercampurnya silsilah pohon keluarga yang historis-objektif dengan berbagai mitologi. Selain itu, persis sebagaimana karya sastra yang dihasilkan para leluhur bangsawan Kerajaan Daha yang bersemayam di Pulau Jawa, karya-karya tersebut menjadi instrumen untuk melegitimasi kuasa raja dan bangsawan. Penyematan pernak-pernik mitologis dalam penceritaan silsilah para raja dan bangsawan adalah suatu upaya menanamkan kepercayaan pada masyarakat bahwa pihak yang memerintah mereka adalah keturunan : mitologi para dewa peninggalan Hindu-Buddha terwariskan pada tradisi Kesultanan Banjar dalam bentuk penyebutan ‘nabi’ sebagai leluhur para raja.
Fungsi lain karya sastra tulis pada masa itu adalah sebagai rangkuman intisari ajaran syariah ataupun tasawuf. Tradisi sastra sebagai media agama pada pertengahan abad ke-18 dimulai oleh Syekh Muhammad Arsyad Al-banjari ketika baru berpulang dari pengembaraan di Mekkah selama 30 tahun.
Berbeda dari sastra lisan, kehadiran sastra tulis merupakan sesuatu yang ekslusif. Sebagai instrumen legitimasi kuasa raja, sastra tulis hanya terbatas penyebarannya pada lingkungan Kesultanan Banjar. Sebagai media penyebaran ajaran agama, sastra tulis terbatas penyebaranya di lingkungan para cendekiawan berbasis keimanan agama mereka. Harapan akan sastra yang lebih inklusif sebagaimana pendahulu mereka (sastra lisan) mulai muncul seiring hadirnya media cetak.
‘Proyek memodernkan’ sastra banjar tercipta ketika mulai terdapat karya-karya puisi, drama, dan prosa (cenderung pada cerita pendek). Kendati perkembangan industri cetak yang tidak ‘semegah’ dengan perkembangan industri serupa di Sumatra dan Jawa, sastra banjar di era industrialisasi memiliki ruang gerak terbatas. Hanya beberapa karya sastra modern tertentu yang dapat mencapai publikasi dalam format buku.
Selain itu, karya sastra modern banjar menemui hambatan kultural: meskipun media cetak memiliki peluang untuk lebih banyak diakses oleh masyarakat, kurangnya modal simbolik untuk memahami karya sastra menjadi tantangan bagi sastra banjar modern untuk tersebar ke lingkup masyarakat yang lebih luas. Meskipun memiliki hambatan dalam distribusi dan masih dianggap ekslusif oleh masyarakat, sastra banjar kontemporer adalah media praktikal bagi para sastrawan untuk menegosiasian modernitas yang menjadi pengalaman mereka. Sastrawan Banjar menggunakan bentuk-bentuk karya sastra yang diperkenalkan oleh metode penulisan sastra modern, mengekspresikan tulisan mereka dalam aksara latin, namun tetap menggunakan bahasa banjar sebagai identitas yang membedakan karya mereka dari jenis karya sastra daerah lainnya.
Judul Buku :Sastra Banjar: Refleksi Historis dan Tinjauan Kritis
Penulis : Jamal T. Suryanata
Tahun Terbit : 2015
Penerbit : Penerbit Pustaka Banua, Banjarmasin.
Assalamualikum. Apakah buku ini dijual?saya sanbat membutuhkan untuk skripsi sayang tentang madihin
Maaf tidak dijual. Silakan ke perpustakan kami untuk membacanya.
alamat perpustakaannya dimana ya mbak?
alamat perpustakaannya dimana ya mbak?