Perumahan Gotong Royong: Tawaran Solusi Permasalahan Perumahan Indonesia

Persoalan hunian layak masih menjadi momok besar yang mengkhawatirkan di Indonesia. Maraknya penggusuran paksa di berbagai kota dan wilayah, sulitnya generasi muda dalam mendapatkan hunian layak di tengah kota, dan belum terwujudnya infrastruktur layak yang dibutuhkan hunian menjadi tiga di antara banyaknya gejala permasalahan hunian layak di negeri ini. Padahal, seperti yang dituangkan dalam Pasal 28H UUD 1945, hunian layak merupakan hak yang sudah sewajarnya dimiliki oleh setiap warga negaranya. Bahkan, hunian layak juga seharusnya dilihat sebagai Hak Asasi Manusia, sebagaimana yang telah diratifikasi Negara dalam UU 11/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional atas Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Pemenuhan hak atas hunian layak ini kemudian perlu dipahami sebagai kewajiban Negara untuk memastikan terpenuhinya hunian layak bagi warganya secara progresif melalui kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. 

Secara kebudayaaan dan tradisi, pemenuhan hunian dapat dianggap sebagai suatu produksi sosial. Hal ini selaras dengan fakta bahwa 69% hunian di Indonesia dibangun secara swadaya. Kekuatan dan keswadayaan masyarakat sesungguhnya merupakan modal besar dalam upaya pemenuhan hunian layak, namun sayangnya belum dapat diakomodasi Pemerintah dalam pemenuhan tersebut. Pemerintah kerap memanfaatkan pengembang dan perbankan sebagai tulang punggung dan mitra terbesarnya dalam pemenuhan hak atas hunian layak, yang kemudian membawa hunian pada pasar dimana hanya individu yang dianggap “bankable” yang dapat mengakses hunian. Hunian yang sejatinya merupakan produk sosial dan swadaya yang bersifat komunal, lambat laun berubah menjadi relasi individu dan pasar.

Cara yang terus diulang ini jelas tidak akan pernah mampu untuk memastikan pemenuhan hunian layak. Kita perlu membongkar relasi hubungan sosial-ekonomi dalam praktik pemenuhan hunian layak yang terjadi saat ini, dan mengembalikan esensi hunian layak sebagai Hak Asasi Manusia dan produk sosial yang merupakan barang publik. Untuk itu, dibutuhkan perubahan paradigma dalam pengadaan hunian layak, termasuk di dalamnya aspek pertanahan dan tata ruang, kelembagaan dan pembiayaan, serta desain dan perencanaan. Salah satu yang dapat ditawarkan adalah model Perumahan Gotong Royongyang bukanlah merupakan barang baru, melainkan eskalasi dari kebudayaan dan tradisi dalam pengadaan hunian yang telah berlangsung lama di Indonesia.

Pada tahun 2020, Arkom Jogja, Urban Poor Consortium (UPC), and Rujak Center for Urban Studies (RCUS) membentuk Koalisi Perumahan Gotong Royong guna menginisiasi upaya advokasi nasional dalam mendorong Perumahan Gotong Royong sebagai alternatif dari pemenuhan hak atas hunian. Koalisi Perumahan Gotong Royong telah mencatat beberapa keberhasilan pelaksanaan model ini di tujuh kota yang tersebar di Indonesia; Kota Makassar, Kendari, Palu, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Sleman, dan Jakarta.

Gotong Royong Masyarakat Kampung Pisang dan Kampung Bungkutoko dalam Menata Kampung yang Terancam Persoalan Tanah dan Tata Ruang

Penataan Kampung Pisang dan Kampung Bungkutoko akibat ancaman penggusuran menunjukkan salah satu keberhasilan Perumahan Gotong Royong. Gotong royong yang dimaksud bukan hanya soal kerja sama dan kolaborasi di antara warga setempat, melainkan juga dengan pihak lain: Pemerintah Daerah maupun Pusat, pemilik lahan, serta pendamping masyarakat. Kolaborasi antarpihak ini kemudian berhasil menjamin pemenuhan hunian layak warga setempat yang mulanya sempat terancam akibat persoalan tanah dan tata ruang. 

Keberhasilan ini bermula dari perjuangan 65.000 masyarakat miskin kota bersama Urban Poor Consortium (UPC) dan Komite Perjuangan Rakyat Miskin (KPRM) untuk melakukan kontrak politik dengan kandidat calon Walikota Kendari pada 2008 untuk dapat mengakomodir beberapa hal, salah satunya adalah agar tidak adanya penggusuran. Tepat setahun setelah kontrak politik berhasil dilakukan, Kampung Pisang (bagian dari KPRM) terancam penggusuran oleh sektor privat. Difasilitasi pemerintah, warga Kampung Pisang kemudian melakukan negosiasi dengan pemilik lahan. Hasilnya, mereka sepakat menggeser permukimannya sejauh 100 meter di lahan dengan pemilik yang sama. Proses kepemilikan lahan kemudian diselesaikan dengan mekanisme konsolidasi lahan.

Bentuk perumahan tradisional Suku Muna dan proses awal pertemuan dengan warga
Bentuk desain, implementasi, dan hasil pembangunan perumahan gotong royong di Bungkutoko

Lain halnya dengan Kampung Pisang, Kampung Bungkutoko terancam penggusuran akibat perubahan tata guna lahan di wilayahnya, Teluk Kendari. Padahal, masyarakat Suku Muna telah menempati lahan milik pemerintah ini lebih dari 20 tahun karena kedekatannya dengan lokasi mata pencaharian sebagai nelayan, bahkan mereka sempat mendapatkan bantuan RTLH dari pemerintah hingga tahun 2009. Saat ancaman penggusuran mencuat pada tahun 2011, UPC, Gerakan Rakyat Miskin Bersatu (Germis), dan Arkom Makassar menginisiasi proses pendampingan untuk masyarakat setempat dalam proses pembangunan perumahan gotong royong. Mereka kemudian berhasil bernegosiasi sehingga pemerintah Kota dan Pusat kemudian memberikan dukungan dalam proses akuisisi lahan dan pembiayaan.

Bebenah Kampung di Bantaran Sungai dengan Perencanaan dan Perancangan Partisipatif di Kampung Mrican dan Kampung Tongkol 

Ditetapkan sebagai daerah kumuh dan adanya kebijakan tentang sempadan sungai tidak menyurutkan semangat dalam menata kampung, melainkan mengawali proses perencanaan dan perancangan kawasan berbasis komunitas yang dilakukan masyarakat Kampung Mrican dan Kampung Tongkol. Keduanya berada di bantaran sungai; Kampung Mrican terletak bantaran sungai Gajah Wong di Sleman, sementara Kampung Tongkol di bantaran sungai Ciliwung di Jakarta.

Proses pemetaan partisipatif oleh warga

Bersama Paguyuban Kalijawi dan Arkom, masyarakat Kampung Mrican melakukan proses advokasi secara intensif ke Pemerintah Kabupaten Sleman. Hasilnya, terbentuknya jalinan kerja sama antara ketiga lembaga tersebut yang salah produknya adalah dokumen kajian Sleman. Dokumen ini kemudian dijadikan basis pemerintah untuk mengeluarkan SK Kumuh dan program untuk mengatasinya. Proses perencanaan dimulai pada akhir tahun 2015 dan implementasi penataan kawasan partisipatif dengan konsep Mundur, Munggah, Madhep Kali (M3K) lalu dilaksanakan pada tahun 2016.

Pada tahun yang sama, masyarakat Kampung Tongkol juga memulai inisiatif pembongkaran rumahnya yang tepat berada di bibir sungai. Meskipun tidak memberi ruang sejauh 15 meter seperti yang tertulis pada RDTR Kota, tujuh keluarga membuat rumah contoh dengan memotong rumahnya sejauh lima meter. Keterlibatan warga dalam proses perancangan sangat berkontribusi dalam proses yang dilakukan, dimana warga ikut bernegosiasi terutama dalam pembagian luas dan perletakan ruang. Rumah contoh tersebut menjadi pemantik bagi 164 KK lain yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung untuk melakukan hal yang sama.

Kelembagaan dan Pembiayaan Perumahan yang Dikelola Koperasi Warga di Kampung Marlina dan Kampung Akuarium 

Tak hanya dalam urusan pertanahan dan perencanaan, kelembagaan dan pembiayaan dalam penyediaan hunian layak juga dapat dilakukan secara gotong royong. Di DKI Jakarta, telah terbentuk 12 koperasi kampung yang bertugas mengelola proses penataan kampung. Dalam banyak kasus, kelembagaan yang sudah berbadan hukum ini juga memiliki kemudahan tertentu, misalkan dalam proses dialog dengan pemerintah maupun pihak swasta dan dalam hal penerimaan hibah. Dua kasus di antaranya dapat ditemukan di Kampung Akuarium dan Kampung Marlina, Jakarta Utara.

Sempat digusur pada 2016, warga Kampung Akuarium akhirnya mendapatkan hunian berupa kampung susun yang telah siap dihuni sebagiannya pada tahun 2021. Melalui dialog dengan Pemerintah DKI Jakarta, pengelolaan Kampung Susun Akuarium kemudian sepakat diserahkan kepada para warga melalui Koperasi Akuarium Bangkit Mandiri. Masyarakat sepakat untuk membayar iuran sebesar Rp170 ribu guna membiayai operasional kampung, seperti emisi (gas), keamanan, listrik, dan air. Adapun rumah tangga yang tidak mampu disubsidi dari keuntungan unit-unit usaha koperasi.

Penataan Kampung Marlina yang pembiayaannya dikelola oleh koperasi kampung

Adapun Koperasi Konsumsi Kampung Marlina Maju Bersama telah berhasil mengelola dana hibah untuk penataan hunian di kampungnya. Dana ini dikelola dengan dijadikan pinjaman tanpa bunga kepada warganya yang telah siap mengubah huniannya menjadi hunian layak. Salah satu gang menjadi prioritas, di mana rumah-rumah di sepanjang jalannya memiliki ketinggian rendah serta gelap dan lembab karena tidak mendapatkan sinar matahari secara langsung. Pembangunan enam rumah dengan pembiayaan yang dikelola koperasi ini menjadi salah satu bukti bahwa perumahan gotong royong berhasil dilakukan. 

Perumahan Gotong Royong, atau dikenal juga sebagai Collective Housing, merupakan model pengadaan hunian yang didasari oleh nilai kebersamaan dan gotong royong. Model ini lahir sebagai antitesis sekaligus solusi dari model penanganan permasalahan perumahan dan permukiman saat iniyang juga mengakomodasi tradisi dan kebudayaan penyediaan hunian masyarakat Indonesia. Prinsipnya adalah diproses, dibangun, dan dimiliki bersama oleh warga, dari warga, dan untuk warga. Perumahan Gotong Royong diharapkan dapat mendorong model penyediaan lahan yang lebih memihak kepada hunian layak bagi seluruh warga, mendorong tata ruang yang lebih humanis, dan proses penataan hunian yang lebih mendengar suara masyarakat sebagai subjek utama dalam pembangunan sehingga pemenuhan hak atas hunian layak dapat diwujudkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *