Manusia harus kembali kepada esensi hubungan dirinya dengan alam. Hubungan manusia dengan alam sudah tidak lagi harmonis akibat dampak dari supresi ekonomi, pembangunan, permintaan barang dan jasa dan pemenuhan kebutuhan lainnya. Proses urbanisasi yang cepat dan masif turut mengeskalasi perubahan pola hubungan manusia dengan alam yang destruktif dengan berbagai macam tuntutan modernisasi dan level kompetitif demi kejayaan ekonomi.
Berdasarkan paparan sesi pertama oleh Marco Kusumawijaya[1], hubungan manusia dengan alam di abad ini dikaitkan dengan 2 hal; salah perencanaan dan kapitalisme. Unsur-unsur perencanaan kota modern yang ada tidak semuanya baik, misalnya pemisahan fungsi tanah horizontal, dominasi mobil, angkutan umum vs angkutan pribadi, dan sebagainya. Konsep perencanaan kota modern kurang memperhitungkan eksternalitas/kerugian seperti menipisnya cadangan sumber daya alam, biaya kesehatan karena polusi, perubahan iklim dan dampak pada komunitas.
Hubungan manusia dengan alam yang destruktif tidak hanya terjadi di kota, namun merambah sampai ke desa. Lebih spesifik dalam sesi “Relasi Ektraktif Kota-Desa”, Bosman Batubara[2] (sesi kedua) memaparkan bahwa politik menjadi pelumas dalam konflik kepentingan dengan alam, khususnya pada wilayah desa. Hal ini dimulai ketika terjadi perampasan lahan desa yang memicu perpindahan penduduk desa ke Kota Jakarta melalui skema Hutan Politik. Hutan Politik menurut Nancy Lee Peluso (1993) adalah pengambilalihan kepemilikan lahan oleh negara secara sepihak dengan menetapkan status lahan sebagai kawasan hutan. Praktik ini banyak terjadi di era Orde Baru dengan istilah “Perhutani”. Perhutani mengontrol hampir 2,5 juta hektar lahan di ±6300 desa di Jawa dan Madura dengan klaim 70% kepemilikan negara melalui skema Hutan Politik.
Skema Hutan Politik tidak hanya sebagai klaim kepemilikan lahan, namun juga digunakan sebagai legitimasi bagi penggunaan lahan yang lain. Salah satunya adalah untuk pembangunan infrastruktur bendungan. Pembangunan 33 bendungan besar di wilayah Jawa pada tahun 1972-1990 telah memicu penggusuran warga desa di sekitarnya (menurut perhitungan, pembangunan 5 bendungan dapat menggusur sekitar 100.000 orang). Penggusuran warga desa akibat pembangunan bendungan memicu perpindahan penduduk ke kota secara masif. Salah satu warga terdampak di Jakarta yang diwawancarai oleh Bosman mengatakan bahwa pengalamannya pindah ke Jakarta disebabkan oleh kepemilikan lahan atas Perhutani dan rusaknya lahan garap karena berkurangnya kesuburan tanah akibat pembangunan bendungan. Pembangunan bendungan saat itu tidak hanya soal infrastrukturnya yang menggusur warga, namun juga meracuni kesuburan tanah karena diiringi dengan penanaman pinus. Daun pinus diketahui memiliki kandungan lilin sehingga sulit diurai oleh tanah. Hal ini mempengaruhi tumbuhan di sekitarnya yang merupakan komoditas bahan pangan warga (ketela). Diketahui, panen ketela di bawah pohon pinus 70% lebih sedikit karena ketela harus berkompetisi dengan pinus untuk mendapatkan cahaya, air dan nutrisi dalam tanah, yang kemudian ini disebut sebagai transformasi sosio-natural.
Kerusakan ini kemudian memicu diskusi yang lebih lanjut mengenai pandangan/kesadaran baru terhadap alam. Munculnya beberapa aktivis lingkungan, teori dan konsep baru terhadap tatanan sistem alam dan kota menjadi alat untuk melawan sistem yang semata-mata hanya mementingkan profit dan klaim di atas alam. Banyak kajian yang kemudian muncul seperti Silent Spring oleh Rachel Carson (1962) tentang bahaya pestisida terhadap lingkungan, kritik terhadap praktik urban renewal di kota-kota besar di Amerika dari Jane Jacobs (1961) dan suara-suara akar rumput (feminisme, minoritas, indigenous people, dll). Teori politik lain juga mengkritik praktik politik sebelumnya terhadap alam, misalnya teori Political Eccology of Urbanization (PEU) yang mengkritisi Planetary Urbanization (PU), dimana PU dinilai memarjinalkan cara pandang lain, mengabaikan usaha geografer feminis dalam relasi biner desa-kota dan mengkooptasi konsepsi feminis tentang relasionalitas dan hibriditas. Terakhir, terkait Hutan Politik, karya-karya George Junus Aditjondro banyak membantu gerakan penolakan terhadap bendungan (Aditjondro 1993, 1998).
[1] Marco Kusumawijaya adalah salah satu founder Rujak Center for Urban Studies (RCUS). Dalam sesi Sekolah Urbanis 2020, Beliau membawakan sesi mengenai Ekologi Kota.
[2] Bosman Batubara adalah anggota Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam dan kini telah menempuh studi doktoral di Department of Integrated Water System and Governance, UNESCO-IHE Delft Institute for Water Education di TU Delft, Belanda. Beliau membawakan sesi tentang Relasi Ekstratif Kota-Desa