Tulisan ini adalah tentang perjuangan komunitas asli (indigenous) Taiwan yang telah menetap di New Taipei City selama 40 tahun. Setelah menghadapi tekanan penggusuran paksa, komunitas ini berusaha dan berhasil melakukan negosiasi dengan pemerintah kota untuk melakukan relokasi setempat dengan proses yang partisipatif. Komunitas ini berhasil menang mempertahankan hunian dan budaya cara hidupnya ditengah komersialisasi lahan dan hunian besar-besaran oleh pasar. Dengan memanfaatkan identitas mereka sebagai suku pribumi, serta support keberpihakan yang besar dari publik, gerakan ini mendorong terciptanya kesepakatan antara kebutuhan hunian, program pemerintah, dan pengadaan permukiman dengan proses partisipatif sekaligus gotong royong. Tulisan ini merupakan intisari dari pengalaman yang didapat dari kunjungan singkat yang dilakukan bulan Juli tahun 2019 lalu ke Taiwan serta perbincangan yang mengikuti setelahnya.
Suku Pribumi Taiwan, Sejarah Bermukim dan Ancaman yang Dihadapi
Kawasan pertama yang kami kunjungi berada di wilayah Xizhou, distrik Xindian, New Taipei City sekitar 20 menit berjalan kaki dari stasiun MRT Xindian. Wilayah desa yang kami kunjungi merupakan permukiman lama suku Amis yang terletak di sisi sungai Xindian. Berjalan 200 meter ke arah timur, terdapat area pembangunan kampung baru yang sudah hampir rampung. Tanah urug masih menggunung di beberapa sisi, namun sebagian besar rumah telah berdiri kokoh, hanya tinggal diplester akhir dan pengecatan. Di depan gerbang kampung terdapat bangunan balai warga disertai menara tinggi (4 lantai). Beberapa bapak-bapak sedang berdiskusi sengit di atas galian pipa oranye yang sedang menunggu dipasang.
Suku Amis merupakan satu dari 14 suku yang disahkan sebagai suku asli Taiwan. Menurut sejarah yang diceritakan oleh tetua suku, komunitas Amis merupakan kumpulan orang dari suku dan kampung halaman yang sama. Mereka pindah ke kota untuk bekerja sebagai buruh bangunan, karena pekerjaan di kampung halaman mereka telah hilang. Dengan sumberdaya yang terbatas dan tidak tersedianya opsi hunian terjangkau untuk kelas pekerja, satu demi satu mendirikan rumah sederhana di area bernama Kamaya, berlokasi di dekat sungai Xindian. Lokasi ini dipilih karena sungai selalu menjadi elemen penting dalam kehidupan suku Amis. Di sungai mereka memiliki penghidupan selama bergenerasi. Setelah pindah ke kota, kedekatan dengan sungai menjadi pengingat akan identitas suku dan kampung halaman mereka.
Permukiman lama komunitas Amis, terdiri atas rumah 1-2 lantai yang dibangun secara swadaya. Setiap rumah terlihat unik dengan ornamen, pemilihan material, dan bagaimana ruang luar (teras) digunakan oleh pemilik rumah. Rumah-rumah ini dihubungkan oleh gang selebar 2.5-4 meter yang mengular dan menghubungkan akses keluar masuk kawasan. Ketika memasuki area permukiman, terdapat tugu dan ruang terbuka yang biasa dijadikan tempat berkumpul dengan pemandangan terbuka alam sungai Xindian dan dilatari bangunan-bangunan apartemen yang tinggi serta mewah.
Berada di pinggir sungai, permukiman Amis dipisahkan badan sungai selebar 20-30 meter dari bibir sungai. Sungai ini langsung terhubung dengan laut di ujung sebelah utara, sehingga ketika badai atau pasang datang, air sungai meluap dan menyebabkan banjir di permukiman warga. Selain banjir, permukiman ini beberapa kali dilanda kebakaran di masa lampau. Pada tahun 2007, permukiman ini mengalami kebakaran yang menghabiskan seluruh bangunan warga. Hanya tersisa sebuah pohon besar yang dianggap keramat karena ditanam oleh orang pertama yang datang dan tinggal di Kamaya. Pasca kebakaran, pemerintah berniat memindahkan dan menggusur rumah sementara warga yang terbuat dari sisa-sisa material rumah lama. Meskipun telah dilanda banjir dan kebakaran, warga Amis sangat menjaga rumahnya. Setiap selesai bencana datang dan rumahnya porak poranda, masing-masing pemilik rumah merapihkan kembali rumahnya hingga tidak tampak sisa-sisa bencana yang datang.
Setelah 40 tahun bermukim, populasi komunitas ini terus berkembang. Isu tentang permukiman illegal dan ancaman penggusuran muncul. Tidak hanya untuk komunitas Amis di Kamaya, melainkan juga komunitas Amis lainnya yang sebagian besar juga menetap di lahan illegal dekat sungai (Wu, 2011). Ancaman penggusuran semakin nyata dengan pasca kebakaran hebat, pemerintah berencana membangun tanggul raksasa di pinggir sungai Xindian sebagai rencana mitigasi kota menghadapi banjir. Dalam rencana pemerintah tersebut, lahan yang ditempati komunitas Amis berada pada zona tampungan air luapan sungai. Zona ini harus bersih dari permukiman karena dianggap berbahaya.
Penolakan Penggusuran Paksa dan Dukungan Masyarakat
Merespons rencana ini, komunitas Amis di Kamaya melakukan mobilisasi masa yang dipimpin oleh salah satu tokoh adat. . Komunitas Amis secara tegas menolak penggusuran paksa ataupun pemindahan ke public housing (rusun) yang lokasinya jauh karena akan memisahkan mereka dengan identitas lahan dan keseharian yang dekat dengan sungai. Pada tahun 2008, pemerintah kota mendapatkan respon masyarakat yang sangat buruk, setelah melakukan penggusuran paksa terhadap komunitas pribumi lain dengan alasan permukiman illegal (Wu, 2011). Kondisi ini dimanfaatkan oleh gerakan (aktivis, akademisi, dan simpatisan) untuk memperkenalkan dan menarik atensi publik terhadap nasib komunitas pribumi di kawasan urban, yang belum mendapat keadilan sosial dan keamanan bermukim seperti komunitas Amis di Kamaya. Bagaimana mereka menghadapi kesulitan dalam hal sumberdaya dan status lahan yang menyebabkan ancaman penggusuran setiap saat.
Meskipun telah hidup di kota, komunitas Amis tetap berteguh dengan kebudayaan luhur mereka. Mereka turut memperkaya budaya mereka dengan keseharian baru di konteks perkotaan, menciptakan budaya baru yang tetap otentik. Bersama dengan pendamping dan aktivis yang mendukung Komunitas Amis, mereka memanfaatkan aset ini untuk melanjutkan negosiasi ke pemerintah kota tentang nasib permukiman Amis, kali ini dengan kondisi yang lebih menguntungkan.
Kesepakatan Relokasi On-Site dan Kepemilikan Kolektif
Upaya negosiasi yang dilakukan membuahkan hasil, pemerintah kota memberi legitimasi hak pakai lahan untuk komunitas Amis. Komunitas Amis bisa membangun tempat tinggal mereka, dengan catatan harus bergeser 50 meter ke area yang lebih tinggi (On-site relocation dan redevelopment project). Kesepakatan untuk bergeser merupakan konsensus yang diraih Komunitas Amis dengan pemerintah. Komunitas Amis tetap tinggal di lingkungan mereka dengan lebih aman, sekaligus memberi ruang untuk proyek mitigasi banjir pemerintah. Kesepakatan lain yang diraih adalah tidak akan ada penggusuran. Proyek tanggul raksasa pemerintah akan dimulai ketika permukiman baru selesai dan seluruh warga telah pindah ke hunian baru. Konsensus ini tidak diraih dalam waktu singkat. Penolakan gagasan yang diajukan pemerintah dan warga terjadi berulang kali. Disini para arsitek, urban planner dan aktivis yang berpihak pada komunitas Amis mencari alternatif bersama agar usulan yang diajukan komunitas Amis memenuhi peraturan dan mempertimbangkan aspek keamanan dan ekologi.
Pada tahun 2011, perjuangan komunitas Amis memasuki babak baru, yaitu advokasi untuk merubah zonasi kawasan menjadi Zonasi Khusus Pemukiman Pribumi (Aboriginal Restricted-Used Zone). Zonasi khusus ini akan memberikan Komunitas Amis hak pakai lahan secara kolektif dan digunakan secara eksklusif atas peruntukan hunian komunitas. Usulan ini sedang melalui proses pengkajian oleh pemerintah kota (Wu, 2011). Setelah disetujui, aturan ini akan memberi keamanan bertinggal tidak hanya untuk Komunitas Amis, melainkan seluruh komunitas pribumi di kota New Taipei City. Aturan ini juga menjamin tidak ada lagi penggusuran terhadap permukiman pribumi dengan alasan legalitas.
Perencanaan Bersama Permukiman Baru Komunitas Amis
Dalam merancang permukiman baru, Komunitas Amis mendapat dukungan dari universitas dan profesional untuk melakukan perencanaan partisipatif. Kami bertemu dengan Professor Wu Jin-Yung dan Masato Soda. Keduanya merupakan arsitek dan perencana senior yang mendamping komunitas Amis sejak 2008. Mereka membantu melakukan negosiasi dengan pemerintah dan proses perencanaan permukiman baru. Keduanya menyatakan bahwa sepanjang proses diskusi dengan pemerintah, sangat penting untuk mempertahankan kepentingan komunitas. Konflik sangat sering terjadi, namun merupakan peran akademisi dan profesional untuk berpihak dan mencari alternatif solusi yang sempurna sehingga tidak bisa lagi ditolak oleh pemerintah. Dalam kasus seperti ini komunitas (warga) bukanlah pihak yang harus berkorban.
Sebagai komunitas dengan akar suku yang sama, pengorganisasian komunitas Amis bertumpu pada garis keturunan kepala suku, pemimpin agama, kelompok kemandirian, kelompok pemuda, dan kelompok wanita (Wu, 2011). Kelompok-kelompok ini sudah tersedia di kehidupan sehari-hari komunitas. Memahami kelompok sosial, cara pengambilan keputusan dan kepemimpinan sangat berguna selama tahap pendekatan dan membangun rasa saling percaya. Ahli profesional dan mahasiswa melakukan observasi dan mempelajari cara hidup sehari-hari masyarakat. Mereka tidak menggunakan sudut pandang pengetahuan dan keahlian mereka dalam proses partisipatif ini. Melainkan melihat bagaimana masyarakat Amis menjalankan kesehariannya, membentuk ruang dan berkumpul bersama.
Kegiatan komunal berperan banyak dalam proses menuju kesepakatan. Komunitas Amis bekerjasama dengan universitas mengadakan rangkaian workshop dan site visit dengan tujuan membangkitkan kepercayaan diri komunitas serta bersama membayangkan rumah mereka di masa depan. Workshop membahas perencanaan ruang komunal (Badaosi), menentukan tetangga, layout rumah, luasan rumah, dan lain lain. Dalam setiap workshop semua orang memiliki pendapat dan keinginan masing-masing yang harus didiskusikan bersama untuk meraih kesepakatan rancangan. Pada akhirnya keinginan dari kelompok umur, pekerjaan dan gender yang berbeda dapat muncul dan diakomodir melalui rangkaian proses workshop ini.
Permukiman baru komunitas Amis didesain dengan prinsip yang diputuskan bersama. Prinsip tersebut adalah permukiman baru nanti harus membuat komunitas tetap memiliki otonomi, kemampuan untuk mengatur diri sendiri dan setiap keputusan diambil atas kesepakatan bersama.
Skema Pembiayaan dan Proses Pembangunan Gotong Royong
Permukiman baru Komunitas Amis disepakati dengan skema kontribusi campuran. Biaya pembangunan didapat dari 3 pihak, komunitas Amis, pemerintah dan pinjaman bank jangka panjang dan bunga rendah. Skema ini diraih atas pertimbangan bahwa masyarakat dan pemerintah sama-sama bertanggungjawab atas proyek ini. Bahwa hak atas hunian layak tetap merupakan tanggung jawab pemerintah dan proyek ini merupakan bentuk kompensasi yang berkeadilan akibat dampak terkena proyek pemerintah. Sedangkan komunitas berkontribusi untuk menjadikan huniannya lebih baik.
Selain berkontribusi melalui biaya pembangunan, warga Komunitas Amis juga membangun permukiman barunya sendiri (tanpa menggunakan buruh bangunan dari luar). Karena leluhur mereka adalah tenaga ahli bangunan bergenerasi, komunitas Amis memiliki kemampuan konstruksi yang handal. Leluhur komunitas Amis merupakan tenaga pembangun gedung tinggi pencakar langit di kota-kota besar Taiwan. Kemampuan ini dimanfaatkan selama pembangunan permukiman baru, dengan bimbingan praktisi professional. Pembangunan dilakukan dengan kekeluargaan dan bertahap. Setiap keluarga menyumbang tenaga yang mampu untuk bekerja (bahkan orang tua dan ibu-ibu ikut bekerja membangun rumah!). Cara membangun ini, selain dapat memastikan mutu bangunan, memberi makna “rumah” yang sesungguhnya bagi komunitas karena membangun sendiri rumah adalah cara otentik komunitas Amis membangun rumah.
Pada tahun 2020, pembangunan permukiman baru komunitas Amis memasuki tahap penyelesaian. Proses panjang yang memakan waktu 12 tahun dapat segera dinikmati oleh komunitas Amis. Komunitas Amis disibukan menerima kunjungan studi dari pemerintah kota lain di Taiwan dan dari luar negri. Mereka ingin belajar mengenai pendekatan dan negosiasi yang dilakukan komunitas dan pemerintah kota hingga memperoleh kesepakatan tanpa menggusur atau menggunakan kekerasan.
Dari Kamaya hingga Jakarta :
Pada malam terakhir, ditemani dengan masakan lokal dari suku Amis, kami berbincang diperantarai banyak bahasa. Beberapa anggota komunitas dapat berbahasa Indonesia dengan baik. Terdapat banyak kemiripan kondisi dan masalah yang dihadapi komunitas Amis dengan kondisi kampung kota di Jakarta. Masalah legalitas lahan, area kampung yang terkena dampak proyek pemerintah, hingga unit rusun yang ditawarkan sebagai kompensasi penggusuran (dan sama-sama tidak bisa menjadi jawaban). Kondisi ini menunjukan bahwa masalah penggusuran paksa dan hak atas hunian layak adalah isu global yang tidak mengenal batas negara. Perjalanan ini tidak hanya menghasilkan pelajaran, melainkan juga teman berbagi semangat dan dukungan dalam memperjuangkan hak atas hunian layak di kota. Perjalanan ini memotivasi bahwa advokasi dapat dilakukan dengan cara yang beragam dan hasil yang kadarnya berbeda, namun proses yang melibatkan dari masyarakat, kerja kolaboratif dari para ahli profesional, dan dukungan dari masyarakat sipil adalah gerakan yang betul-betul bisa meyakinkan pihak manapun untuk membentuk perubahan.
Komunitas Amis memberi contoh langka yang membuktikan bagaimana masyarakat terpinggirkan (marginalized) sangat mampu untuk berdaya apabila terbuka kesempatan. Mereka membuka jalan melalui proses advokasi panjang selama 12 tahun dan membuktikan banyak hal. Salah satunya bagaimana dukungan publik terhadap komunitas terpinggirkan sangat dibutuhkan untuk membantu mempengaruhi kebijakan pemerintah dan membuat perubahan nyata. Di sisi lain pemerintah harus mau membuka kesempatan untuk ide inovatif berbasis komunitas demi pembangunan kota yang baik dan berkeadilan. Tidak menempatkan diri sebagai problem solver dengan mempertahankan pendekatan kaku berbasis program. Melainkan menerapkan proses partisipatif dan memberi kesempatan komunitas membangun lingkungan tinggalnya sendiri sehingga akan dirawat dengan sepenuh hati.
Tulisan ini dibuat berdasarkan pemahaman penulis dan tidak merangkum keseluruhan proses perjuangan Komunitas Amis di Kamaya, New Taipei City, Taiwan. Informasi lengkap dapat ditemukan pada tautan dibawah :
Informasi lengkap tentang Komunitas Amis dipresentasikan pada kegiatan :
International Conference 2020 : Kampung and Historic Urban Landscape [waktu = 5:55:00]
Sumber terkait :
Wawancara dengan Komunitas Amis (26-29 Juli 2019)
Wu, Jin-Yung. 2011. Amis Aborigine Migrants’ Territorialization in Metropolitan Taipei. Cross-Currents: East Asian History and Culture Review. E-Journal Vol. 1, Issue 1 (December 2011). [link]