Dalam 3 tahun ke belakang, Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) berwarna warni kelap kelip bermunculan di kota-kota Indonesia. Tren tersebut dimulai dari Jakarta, dengan 3 JPO berbeda di Sudirman, dan lalu tak lama menyebar ke seantero Jakarta, termasuk Daan Mogot, Pasar Minggu hingga Angke Jelambar. Tren tersebut juga muncul di kota lain, misalnya Semarang dengan Sky Bridge Pandanaran dan Bekasi. Sangat mudah mencari JPO tersebut, ketik saja di pencarian Google, “JPO instagramable”, maka akan keluar berbagai jembatan dengan struktur repetitif tanpa konteks, tematik spektakular tanpa peduli sekitar, warna-warni, serta kelap-kelap.
Dinas Bina Marga DKI menargetkan akan membangun 25 JPO sepanjang kurun waktu 5 tahun, dimana 10 JPO di 2020 akan beranggaran 110 milyar. Dan entah sejak kapan JPO didaulat menjadi ikon kawasan, seperti misalnya rencana pembangunan JPO di Matraman. Sungguh ironis, karena ikon lansekap Matraman yang sesungguhnya, GPIB Koinonia, malah terhalangi oleh JPO Halte Transjakarta Kebon Pala.
Pembangunan JPO instagramable bak menjadi fetisisme, haus terhadap bentuk arsitektur ikonik. Arsitektur ikonik memang makin jamak di era neoliberal ini. Pemilihan spektakular urbanisme atau kerap disebut sebagai dubaisasi, kadang diambil untuk merevitalisasi kawasan yang mengalami kemunduran, alat pembangunan dan menarik investas serta kompetisi, hingga sebagai monumen dan senjata. Namun ini tidak berarti JPO instagramable itu berada di kelas yang sama dengan arsitektur ikonik seperti yang dihimpun oleh Charles Jencks ini.
JPO instagramable Jakarta, Semarang atau Bekasi pun tidak bisa disamakan dengan JPO ikonik, Alexandra Arch, yang membentang di atas Alexandra Road Singapura hingga menerus sepanjang 1.6 kilometer. Alexandra Arch ini menghubungkan antara taman dan ngarai sebagai bagian dari program Park Connector. Bentuk ikoniknya pun muncul sebagai bagian dari integritas struktur serta capaian teknologi, dan bukannya hanya tempelan belaka. Pencahayaannya berorientasi pada pejalan kaki dan pengguna park connector, serta tidak bertujuan untuk membuat JPO terlihat kemilau.
Dan kini ada JPO instragramable yang memiliki anjungan untuk melihat pemandangan dan berswafoto seperti di Karet. Orang harus naik lebih tinggi dan kemudian melihat pemandangan 2 jalan layang ke arah Casablanca dan Kampung Melayu yang bak berbalapan. Barangkali saja pemandangan andalannya adalah di saat jam sibuk, memperlihatkan deretan mobil sepanjang 2 jalan layang itu. Semacam memento bahwa kota ini memang dibangun untuk kendaraan bermotor. Saking ingin mengejar 2I (Icon & Instagram), pada desain yang disosialisasi oleh Dinas Bina Marga, JPO yg menghubungkan ke Halte Transjakarta juga tersebut, tidak menggunakan penutup atap sama sekali.
Memang di atas anjungan “Phinisi” Karet itu bisa mengambil foto indah bangunan yang gemerlapan. Mungkin akan bermanfaat untuk mengasah calon fotografer dan pencipta konten, tapi lalu apa?
————————–
Sesungguhnya JPO instagramable adalah pengalihan perhatian. Bentuknya ikonik, agar yang dibicarakan adalah melulu soal bentuk, lalu melupakan esensi sesungguhnya tentang bermobilitas di kota dan pejalan kaki. JPO dan Terowongan Penyeberangan Orang memang memakai istilah “orang” dan kegiatan menyeberang, namun dia tidak serta merta berarti bahwa pejalan kaki mendapatkan prioritas.
Keberadaan JPO dan TPO menguat dalam urbanisme modern pada awal abad 19. Ciri Modernisme adalah zonasi ruang yang tunggal, memisahkan antara fungsi ruang seperti hunian, tempat kerja dan rekreasi secara rigid. Dan untuk memfasilitasi pergerakan antara distrik tertentu ini, fungsi jalan pun mengalami perubahan. Sebelumnya, jalan di dalam kota adalah multifungsi – untuk pejalan kaki, kendaraan, di tepi bisa menjadi tempat bermain anak-anak dan sosialisasi masyarakat. Bagi kaum modernis, keberadaan persimpangan dan perempatan sering menimbulkan hambatan bagi arus lalu lintas yang cepat. Sesuai dengan ucapan punggawa modernisme, Le Corbusier, “Speed lies on this side of mere dreams: it is a brutal necessity”. Jalanan menjadi saluran untuk mobil dan bukan manusia.
Jadi tujuan utama adanya JPO adalah agar tidak mengganggu lalu lintas kendaraan. Apalagi di saat di kota masih memakai peningkatan kecepatan berkendara sebagai suatu keberhasilan. Pada akhirnya JPO itu bukanlah sarana pejalan kaki, tetapi sarana untuk kendaraan bermotor – agar tetap terus tancap gas tanpa gangguan. JPO juga membuat pengemudi merasa memiliki akses eksklusif dijalan, pengemudi cenderung tidak menyadari, atau awas terhadap keberadaan pejalan kaki. Jumlah JPO banyak pada suatu kota bisa menjadi indikator bahwa kota tersebut sesungguhnya memprioritaskan kendaraan bermotor dan tidak ramah pejalan kaki sekaligus penanda buruknya kondisi berjalan kaki (walkability).
Ambil contoh JPO instagramable Jembatan Gantung di Daan Mogot. Atapnya bak layar putih yang seakan menantang debu bertaburan dari truk kontainer yang kerap lalu lalang. Ada lift dengan lobby ber AC. Namun begitu sampai di di permukaan jalan, trotoar seadanya, bahkan ada yang tiba-tiba mengecil hampir lenyap serta kadang harus berhadapan dengan motor yang melawan arah.
JPO juga mengambil alih pengawasan aktif publik dan belum tentu aman bagi pejalan kaki pula. Masih saja terjadi pelecehan seksual pada JPO, dan perempuan pun merasa tak aman di JPO. Pengawasan aktif oleh mata publik serta ruang yang terpakai di level permukaan akan lebih baik daripada CCTV 24 jam.
“Infrastruktur pejalan kaki” macam JPO sering memaksa pejalan kaki untuk mengeluarkan usaha lebih jauh. Misalnya JPO instagramable Bundaran Senayan yang menggunakan ramp pada masing-masing sisi, hingga menambah panjang jalan kaki hingga hampir 150 meter. Ada lift, namun ternyata lift tersebut punya jam operasional. Bandingkan dengan sebelumnya saat pelican crossing Senayan masih ada, orang punya opsi tersingkat untuk menyeberang atau tiba di Halte Transjakarta. Lift JPO Instagramable lain di Jelambar 2 (hanya pada 1 sisi), ternyata hanya beroperasi hingga jam 4 sore – selebihnya silakan menggunakan tangga. Entah bagaimana jika ada manula yang hendak menyeberang jam 5 sore.
Begitu tempat pejalan kaki menjadi infrastruktur, maka dia harus menjadi proyek bangunan dan pengadaan, yang kerap menjadi indikator dalam rencana pembangunan. Namun secara anggaran, keberadaan JPO bisa tidak menguntungkan secara jangka panjang. Anggaran pembangunan JPO standar minimal dua kali lipat daripada mengubah penyeberangan sebidang (baik pelican cross maupun zebra cross) berstandar internasional lengkap dengan marka dan lampu cukup. Tentu semakin instagramable dan banyak fitur (lift, AC, dll) akan menambah anggaran. Perawatan JPO per tahun sekitar 2.5x dari non-JPO.
Tendensi berbagai kota di dunia (jika Jakarta memang masih ingin jadi kota global dan livable) adalah berusaha memprioritaskan pejalan kaki dan mobiltas non motor, dan memberikan pembatasan kepada kendaraan bermotor pribadi. Upaya itu makin relevan di tengah krisis iklim ini.
Jika ingin mendesain ruang kota, termasuk jalan, untuk manusia, maka desainlah dengan pejalan kaki sebagai prioritas utama dan bukan mesin. Jika ingin meningkatkan budaya berjalan kaki, maka harus fokus dalam membangun tempat (places) bukan infrastruktur. Hadirkan orang pada permukaan, dan bukan buang mereka ke atas atau ke bawah. Pesan apa yang ingin disampaikan kota ini? Kota untuk kendaraan bermotor atau pejalan kaki?
Maka kenapa yang selalu tersisih pejalan kaki, pembangunan jelas untuk kaum jetset/ penikmat BBM
Saat pembangunan Taman Jogging II Kelapa Gading yang lalu, saya sempat mengimpikan Jogging Bridge yang menghubungkan jogging track Taman Jogging I dengan jogging track Taman Jogging II lho 🙂