Kampung Kita Esok

Sepanjang tahun 2022, Rujak Center for Urban Studies akan mengeluarkan tulisan rutin mengenai kampung kota di Jakarta. Sejak Rujak berdiri hingga hari ini, memang memiliki fokus advokasi dan bekerja bersama dengan masyarakat kampung kota. Mulai dari kampung-kampung Stren Kali Surabaya hingga Kampung Akuarium di Jakarta. Dan kali ini, fokus rangkaian tulisan adalah kerja bersama di kampung-kampung kota Jakarta selama 5 tahun ke belakang.

————-

Jakarta adalah kota yang terbentuk dari dua kontestasi ruang hidup, yaitu kampung dan permukiman formal. Keduanya merepresentasikan bentuk yang berbeda namun saling berdampingan. Kampung terproduksi secara sosial oleh penduduknya yang berasal dari berbagai tempat dengan latar belakang berbeda. Sementara permukiman formal merupakan produk teknokratif dan kalkulatif yang dihasilkan oleh penguasa politik dan ekonomi. Kerap kali yang terkahir berusaha mendominasi yang pertama. Sementara yang pertama berusaha bertahan hidup dalam kesempitannya atau berpindah tempat lain walau kerap menemui nasib serupa. 

 

Peta Kampung Kota di Jakarta oleh Rujak Center for Urban Studies (2019). Warna hijau menunjukkan kampung kota berdasarkan studi Abidin Kusno, 2018. Poligon oranye menunjukkan RW kumuh berdasarkan Pergub 90/2018

 

Hingga saat ini, kampung kota masih mendominasi bentuk permukiman dan morfologi 27% wilayah kota Jakarta. Simbiosis tetap terjadi antara yang informal dan formal. Kampung menyediakan tempat hidup dan pangan terjangkau bagi pekerja di perkantoran. Di kampung tinggal buruh cuci, pelayan restoran hingga mahasiswa. Ali Sadikin bahkan menyatakan, kampung adalah tempat para pendatang untuk belajar berdemokrasi dan menjadi warga kota. Namun sayangnya, informalitas, keluwesan dan sifatnya yang akomodatif kerap bertolak belakang dengan modernitas yang rigid. Tata ruang sebagai produk moderen dan simplitsik, pada akhirnya tak mampu menalarkan kehidupan dan produksi ruang kampung. Kampung begitu mudah terhapus eksistensi dan esensinya dalam produk tata ruang. Tak hanya informal, kini ilegal melekat padanya. (Studi soal kampung kota dan stigmatisasi dihadapi kampung kota dapat dibaca lanjut disini).

Nasib kampung kota seringnya tak jauh berbeda dari era kolonial – yang berusaha ditundukkan, distigma dan dilenyapkan oleh penguasa, atas nama mengatasi kekumuhan, wabah penyakit, kriminalitas hingga prostitusi. Sepanjang 2014-2016 misalnya, Jakarta menyaksikan 305 penggusuran paksa terhadap kampung kota dan pedagang kaki lima. Dalam semalam di Februari 2016, misalnya 3000 penduduk di Kali Jodo kehilangan tempat tinggalnya secara paksa dan penuh kekerasan, bahkan tanpa kompensasi yang jelas. Bahkan pada 11 April 2016, sekitar 2000 warga kehilangan rumah dan tempat usaha dan dalam 2 hari 500 bangunan rata tanah di Kampung Akuarium dan Pasar Ikan. Penghancuran terus terjadi oleh 3000 aparat gabungan (Satpol PP, TNI dan Polri) bahkan di saat ibu-ibu memohon sambil menangis dan berlutut untuk menunda penggusuran paksa karena anak-anak mereka sedang menempuh ujian sekolah. 

Walau terus menerus dihancurkan, kampung kota adalah tempat lahir perjuangan. Kemerdekaan Indonesia tak bisa lepas dari kontribusi orang kampung, ketika 250.000 orang dan Jawara keluar dari kampung-kampung Jakarta dan sekitarnya untuk mendeklarasikan ulang kemerdekaan di lapangan Ikada (sekarang Monas). Dalam tiap penggusuran paksa, selalu lahir perlawanan. Dari fisik hingga strategis. Advokasi, hingga jaringan untuk melawan tirani ruang formal.

Kampung Akuarium adalah salah satunya. Setelah dalam semalam hilang seluruh ruang hidupnya, warganya menyingkir bertahan di perahu dan emperan. Kembali lagi menduduki ruangnya dalam puing, melebarkan jaringan, menyusun strategi bersama. Menggunakan desain sebagai bahasa negosiasi. Bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan dasar, air dan listrik. Unjuk rasa hingga menjadi bernegosiasi dengan banyak politisi hingga organisasi dari aliran kiri hingga kanan. Menjadi teater kontestasi panggung politik lokal hingga nasional. Mengambil risiko dengan kontrak politik. Berkesenian untuk refleksi dan advokasi. Bersilat lidah dan menahan diri di Balai Kota. 

Mereka bermusyawarah dengan sesamanya, dan juga membuat terobosan dalam tata ruang dan bangunan. Lalu setelah deliberasi panjang, memilih bentuk arsitektural yang dianggap mampu merepresentasikan masa depan mereka tanpa kehilangan identias, serta menjamin keamanan bermukim. Tanggal 17 Agustus 2021, 5 tahun 4 bulan setelah mereka digusur paksa, berdirilah Kampung Susun Bahari Akuarium. 

Blok bangunan 4.5 lantai yang setiap sudut, belokan, tangga dan gang didesain secara sadar sebagai ruang kolektif. Selasarnya bukan selasar sepi seperti pada blok apartemen utilitarian yang dingin. Tetapi menjadi ruang temu dan transparan dengan jendela menghadap ke publik. Selasar menjadi pertemuan lekukan teras. Jendela menjadi bingkai kreativitas penghuninya dalam mengisi ruang. Warga menjadi seniman dalam kanvas modernitas. Disini mereka melakukan reintepretasi terhadap sistem perwakilan, permusyawaratan dan demokrasi. Pembagian unit, misalnya, tidak berdasarkan pengambilan nomor atau siapa mampu bayar berapa atau apa jasamu dalam perjuangan, tetapi berdasarkan siapa yang paling lemah, tua dan renta maka niscaya mendapatkan tempat terbaik. 

Tak hanya di Kampung Akuarium, 3 kampung lain yaitu Bukit Duri, Kunir dan Bayam sedang dan akan membangun kampung susun. Keberadaan dan arsitektur kampung susun mulai meruntuhkan stereotype romantik bahwa kampung adalah antitesis dari modernitas. Kampung susun juga membuka kemungkinan baru tentang bagaimana cara hidup bersama dalam era ekologis. Ia juga bukti terobosan progresif hasil upaya bersama untuk memastikan hak atas kota bagi kaum yang selama ini tertindas.

 

Ruang yang berbeda

Pertemuan antara vernakularitas dan produksi sosial dalam tatanan ruang moderen seperti kampung susun, mendorong terjadinya kegiatan apropriasi baru. Jika sebelumnya modernitas menjadi penghancur kampung dengan proses pemindahan yang keji dari kampung ke rusunawa nun jauh, kini modernitas mampu menjadi wadah bagi produksi sosial. Ternyata bisa ada warung pada lantai dua, dan hidup. Bisa ada kentongan, dan malah di tempat modern ini kebiasaan kampung yang tadinya terlupakan jadi muncul dan diintepretasikan ulang: jimpitan dan siskamling. Kerja bakti dimaknai tak hanya sebagai kewajiban sosial, tetapi sebagai siasat ekonomi dan politik dan advokasi untuk melawan stigma buruk kampung sekaligus merebut otonomi pengelolaan dan mengurangi biaya pemeliharaan. 

Pada 4 kampung susun, ada potensi untuk memaknai ulang tentang hidup bersama. Solusi yang masuk akal secara alam – bagaimana berbagi secara adil dan bermakna. Produksi ruang tak lagi kapitalistik dan individualistik. Secara sadar mereka memilih berkoperasi – dan berjanji tidak menjadikan hunian sebagai komoditas dan nilai tambah. Kesadaran tersebut juga menghasilkan reapropriasi dan intepretasi penggunaan ruang-ruang bersama. Kemungkinannya bisa tak terbatas, dan terbuka terhadap imajinasi dan aktivasi baru.

 

Masa Depan Kampung Kota?

Menentukan masa depan kampung kota hanya bisa terjadi jika penduduk kampung kota bersama-sama merencanakan dan mendiskusikannya. Apakah kondisi saat ini baik? Apakah sekiranya 10-20 tahun lagi saya dan anak saya masih begini-begini saja. Kampung susun, kampung deret, kampung tumbuh hanyalah bentuk, ia seharusnya bukan tujuan. Saat penduduk kampung kota merencanakan bersama masa depan kampungnya, dia tidak hanya merencanakan bentuk saja, tapi juga cara hidup dan berkegiatan. Tantangan kita adalah bagaimana memastikan proses perencanaan bersama tersebut terjadi secara demokratis dan berkualitas.

Lika liku kisah kampung kota kami selama 5 tahun, adalah upaya bersama untuk memastikan proses perencanaan bersama tersebut terjadi, sekaligus mendorong adanya perubahan kebijakan yang semakin ramah terhadap perencanaan bersama. Di dalamnya ada proses bagaimana penguasa juga perlu menyadari bahwa hanya dengan bersama-sama, maka masa depan yang adil dapat terwujud.

Berikut adalah edisi pertama tulisan ini: Kampung Marlina Jakarta Utara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *