Rencana 6 Ruas Jalan TolDalKot Jakarta : Bencana Lingkungan Hidup Perkotaan

IMG_2031

 

DUKUNG PETISI BATALKAN PEMBANGUNAN 6 JALAN TOL DALAM KOTA JAKARTA

Berita di detik.news ber tanggal 1 November 2012 mengutip pernyataan Wamen PU bahwa Gubernur DKI sudah menyetujui rencana 6 ruas tol dalam kota yang bernilai Rp. 40T++ ini.

Apakah Jokowi benar menyetujui proyek ini tanpa mempertimbangkan Pendapat Masyarakat ? Pertanyaan yang sangat mengganggu warga Jakarta. Karena hal ini kelihatannya sangat bertentangan dengan kampanye Beliau, yaitu: “Pro-rakyat” dan bukan pro pemegang modal besar.

Kita berpikir positif, bahwa Pak Gubernur ‘mungkin’ belum memperoleh atau mendengar pendapat dari seluruh lapisan masyarakat, yang diamanatkan di PP No 68 Tahun 2010 mengenai Bentuk dan Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Tata Ruang.

Karena, persetujuan ini bertentangan dengan perkataan Beliau di :

http://news.detik.com/read/2012/10/30/094722/2075838/10/jokowi-utamakan-mrt-dan-monorel-daripada-tambah-ruas-jalan-tol

Jajaran Pemprov DKI Jakarta (dari masa Fauzi Bowo) memang beralasan untuk mengizinkan swasta membangun ‘6 ruas jalan layang tol dalam kota’ dengan alasannya untuk mengurangi tekanan beban lalu lintas.

Tetapi di banyak studi di seluruh dunia, elevated tol road  (jalan layang tol) ini akan selalu menyebabkan penambahan traffic/ lalu lintas. Fenomena ini dinamakan fenomena “Induced Traffic”.

Di sebuah studi di LN di University of California di Berkeley antara 1973 dan 1990 didapatkan bahwa untuk setiap 10% penaikkan kapasitas jalan raya (termasuk jalan tol), lalu lintas juga naik sekitar 9% dalam waktu 4 tahun. (1 Carol Jouzatis. “39 Million People Work, Live Outside City Centers.” USA Today, November 4, 1997: 1A-2A).

Ketika panjang jalan di Mumbai, India,  diperpanjang 2x lipat antara tahun 1951 and 2007,  jumlah penduduk bertambah 5.4 kali, dan jumlah kendaraan bertambah 43x. Dan banyak lagi studi-studi lain di dunia internasional.

Jadi membuat jalan tol layang  bukan menjadi jawaban, karena karena beban (workload)  jalan layang yang baru ini akan ditambah oleh sebuah fenomena induced traffic’ yaitu “berpindah-nya tekanan traffic dari jalur-jalur lain ketempat dimana jalan-jalan tol layang ini berada.  Karena kemudahan jalan layang tol ini atau disebut ‘the law of least resistance‘, maka dalam waktu 3-4 bulan setelah selesai , jalan-jalan layang ini  dan jalan dibawahnya, akan terkena macet lagi.

Dibanyak negara, SAAT INI, trend-nya malah menghancurkan jalan tol layang: sebagai berikut :

Elevated roads already removed
Portland, OR: Harbor Drive
San Francisco, CA: Embarcadero Freeway
San Francisco, CA: Central Freeway
Milwaukee, WI: Park East Freeway
Toronto, Ontario: Gardiner Expressway
New York, NY: West Side Highway
Niagara Falls, NY: Robert Moses Parkway
Boston, MA: Interstate 93 (moved underground)
Paris, France: Pompidou Expressway
Seoul, South Korea: Cheongyecheon Freeway

 

Elevated roads being removed
Rochester, NY, Innerloop
Trenton, NJ, Route 29
Akron, OH, Innerbelt
Washington, DC, Whitehurst Freeway
Cleveland, OH, Shoreway
New Orleans, LA, Claiborne Expressway
Nashville, TN, Downtown Loop
New Haven, CT, Route 34 Connector
Montreal, Quebec, Bonaventure Expressway
Tokyo, Japan, Metropolitan Expressway
Sydney, Australia, Cahill Expressway: (Moving to underground)

 

Removals proposed by citizens
Baltimore, MD, Jones Falls Expressway
Seattle, WA, Alaska Way Viaduct
Bronx, NY, Sheridan Expressway
Buffalo, NY, Route 5
Hartford, CT, Aetna Viaduct
Louisville, KY, Interstate 64
Portland, OR, I-5
Chicago, IL, Lakeshore Drive

 

Karena itu sudah terbukti di beberapa Negara, jalan tol gagal menanggulangi kemacetan kota-kota besar dunia, tetapi justru menambah kemacetan (bahkan di kota Seoul, tol dalam kota dihancurkan – lihat tabel diatas).

Itulah trend dunia sekarang.

SPATIAL INJUSTICE (Ketidakadilan Pengelolaan Transportasi di Tata Ruang)

Perjalanan yang dilakukan di Jakarta setiap hari adalah 18 juta perjalanan, di mana 70% dari perjalanan ini dilakukan oleh non-pemilik kendaraan pribadi; lalu 30% dari 18 juta perjalanan ini dilaksanakan oleh pemilik kendaran pribadi.

Mengapa membuat 6 ruas jalan tol layang di tengah DKI Jakarta untuk memberikan service kepada 30% pemilik mobil/motor pribadi? Harusnya yang diprioritaskan adalah transportasi publik bagi 70% non pemilik kendaraan pribadi bukan? (KA, MRT, Monorail, Busway,  dll).

Dampak yang akan ditimbulkan oleh 6 ruas jalan tol itu adalah:

  1. Perubahan bentuk lingkungan dari deaerah yang dilewati oleh jalan tol layang yang akan memperangkap udara kotor di kolongnya, yang berasal dari asap knalpot. Belum lagi merubah tatanan sosial di daerah-daerah yang diliwati oleh ular-ular beton ini.
  2. Dampak berubahnya vegetasi pepohonan dikarenakan konstruksi jalan layang tol yang menyebabkan berkurangnya oksigen bagi penduduk.
  3. Dampak bising, getar, gelap dan polusi udara ke penduduk di sepanjang jalan tol  (SETELAH jalan tol itu dioperasionalkan). AMDAL harus memperhitungkan pembelian kendaraan bermotor yang juga disebabkan oleh bertambahnya naiknya income dari masyarakat.
  4. Bertambahnya penyakit dari polusi udara oleh partikel2 PM2.4, PM10 yang meningkatkan rasa sakit, seperti aritmia jantung, kematian karena serangan jantung, Kanker Paru, dan penyakit cardio-pulmonary (sakit jantung dan paru-paru).

Penelitian dari Prof Sutanto Husodo dari UI di tahun 2005 menyatakan bahwa Jakarta harus menambah transportasi publik, dan bukan menambah jalan. Saat ini Pak Husodo justru menjadi Deputy Gubernur DKI bidang Transportasi dan menyetujui 6 ruas jalan tol ini; betapa anehnya).

Hak Asasi Manusia.

Menanggulangi kemacetan dengan membangun jalan tol merupakan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) karena Negara hanya memberikan fasilitas bagi pemilik mobil sementara yang tidak memiliki mobil dibiarkan berdesak-desakan di angkutan umum yang buruk sambil menghirup polusi udara yang semakin parah.

Jelas disini, tidak ada konsideran mengenai Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 diatas (Tentang Kesehatan yang di Pasal 6 mengatakan:  “Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat).

Belum lagi Proyek 6 ruas jalan tol ini tidak melakukan (berarti: melanggar) aturan yang ada di Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 27 tahun 2009 (tentang Pedoman Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis atau KLHS) yang diamanatkan di Undang – Undang 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pelibatan Publik
Pelibatan publik yang diamanatkan di Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2010 Tentang Peran Masyarakat di Pengelolaan Tata Ruang untuk 6 ruas jalan tol ini, wajib dilakukan saat melakukan studi AMDAL yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Pasal 26 Ayat (1) yang menyatakan bahwa: Dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat.

AMDAL ini belum selesai, tetapi mengapa Menteri PU sudah menyetujui proyek ini? Draft Amdal ini harus melalui proses sosialisasi ke masyarakat (setelah Komisi Amdal di BPLHD DKI menyelesaikannya). Kapan dan mana sosialisasi masyarakatnya? Dan masyarakat MANA yang diundang dalam sosialisasi ini?

Supaya netralitas hasil AMDAL tidak termanipulasi, sebaiknya Pemerintah (BPJT) membiayai studi AMDAL ini dan bukan pemrakarsa, termasuk sosialisasi publiknya, karena persoalan AMDAL menyangkut harkat hidup orang banyak. Setelah itu hasil AMDAL seharusnya disetujui oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup bukan hanya oleh Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Propinsi DKI Jakarta, karena kewenangan pembangunan 6 ruas jalan tol ini ada di Pemerintah Pusat.

UU No. 32 tahun 2009 Pasal 29 Ayat (1)  menegaskan bahwa: Dokumen AMDAL dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya , dan komposisi keanggotaannya sesuai Pasal 30 Ayat (1), yaitu terdiri dari unsur:

a. instansi lingkungan hidup;
b. instansi teknis terkait;
c. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji;
d. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji;
e. wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak; dan
f. organisasi lingkungan hidup, juga memperkuat Pasal 26 Ayat (1).

AMDAL ini belum selesai dan masih harus di review kembali oleh para pakar diatas.

Nah, terminologi “wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak” ini bisa menjadi sebuah manipulasi, karena wakil masyarakat yang diundang adalah masyarakat bagian atas (pemilik rumah sakit, usaha besar, [pertokoan besar – mal), dan penghuni dari instansi-instansi negara), dan bukan dari pihak masyarakat kecil, atau masyarakat biasa.

Untuk pelaksanaan pelibatan publik ada juga Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup no. 7 tahun 2010 tentang Sertifikasi Kompetensi Penyusunan Dokumen AMDAL. Jadi jelas pembangunan 6 ruas jalan tol dalam kota Jakarta wajib hukumnya melibatkan publik.

Jika tidak maka sebaiknya publik merapatkan barisan menentang pembangunan ini, atau mempersiapkan citizen law suit terhadap Kementerian PU.

Berhubung ini proyek besar yang diperkirakan tidak akan mengurangi kemacetan tetapi justru akan menambah kemacetan di wilayah DKI Jakarta. Jika tidak ingin dibatalkan oleh publik, pertama, proses tender proyek ini harus melibatkan Mahkamah Agung (MA) untuk melakukan uji materi Perpres 13/2010, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait pengawasan proses PQ dan tender, Masyarakat (Transportasi Indonesia (MTI) dan Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) terkait manfaat proyek ini bagi publik.

Sebagai contoh : Kasus Jalan Layang Antasari-Blok M dan Kampung Melayu – Tanah Abang (JLNT Casablanca) itu TIDAK mempunyai Amdal Operasional (Amdal operasional adalah bagian akhir dari Amdal yang memperhitungkan dampak kuantitatif terhaap masyarakat dan lingkungan kehidupan mereka, setelah proyek itu jadi dan dijalankan).

Proyek ini menghancurkan pohon-pohon. Pohon-pohon  sudah dipotong  lebih dari 1000 pohon. Dan ada Kalimat di dalam Dokumen Amdal dari Komisi Amdal BPHLD DKI Jakarta: “Kalau memotong lebih dari 34 pohon, maka proyek ini gugur dengan sendirinya”. Kenyataannya, proyek masih terus berjalan, padahal Penyidik Pegawai Negeri Sipil  dari Kementrian Lingkungan Hidup sudah melakukan inspeksi ke lapangan.

Bapak Wiryatmoko, Asbang Gubernur saat ini, ketika masih menjabat sebagai Kepala Dinas Tata Ruang Pemprov DKI Jakarta mengatakan di wawancara dengan Green Radio bahwa Warga Antasari memang “dikorbankan”.

Pertanyaannya: “Rakyat di Wilayah Jakarta mana lagi yang akan dikorbankan?”

Jelas, warga Jakarta tidak pernah merasa tidak dilibatkan dari awal dan tidak merasa bahwa hukum ditegakkan.

 

Benarkah pembangunan Jalan Layang Non Tol efektif mengatasi kemacetan?

Pembangunan JLNT Antasari-Blok M berakibat buruk bagi warga Antasari.  “8000 mobil per menit (waktu rush hour) itu akan muncul di pagi hari di Pasar Cipete untuk naik ke JLNT. Dan di arus balik 8000 mobil per menit akan muncul di Pattimura waktu arus balik ke Selatan. Kita dapat menghitung sendiri, kalau tengah ruangan lebar daripada non tol itu untuk masuknya 10 meter, 12 meter. 8000 meter per menit maka akan terjadi antrian panjang. Dan apa yang terjadi? akhirnya pengguna kendaraan pribadi akan menggunakan jalan di bawah. Dan akan macet atas bawah. Nah, rakyat Jl Pangeran Antasari (dan sama juga sepanjang Jl Casablanca)  ini akan menikmati apa? Dia akan menikmati bising, getar, asap, dan gelap.

Bagamana asap kendaraan yang akan memasuki paru-paru warga di sepanjang Jalan Antasari sampai dengan Blok-M dalam masa 5 atau 20 tahun kedepan. Tidak ada perhitungan kuantitatif mengenai hal ini.

Jelas di sini, tidak ada konsideran mengenai Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang di Pasal 6 mengatakan:  “Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat).

Belum lagi, aspek keuangan dari proyek di JLNT Casablanca, JLNT Pangeran Antasari yang melanggar Undang-undang RI Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, di mana Gubernur yang lalu telah melanggar Perda Nomor 6 Tahun 1999 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Jakarta, yang diputihkan di Perda No. 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Jakarta. UU RI Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang melarang pemutihan tersebut.  Ini jelas menjadi persoalan Pidana Pengeloaan Tata Ruang dan KPK (anggaran proyek). Sebagai informasi, warga Jl Pangeran Antasari telah melaporkan kasus ini ke KPK dan DPRD secara resmi.

Inilah salah satu warisan dari Gubernur yang terdahulu!

Warga harus bersama-sama memberitahu kepada Gubernur yang baru untuk menghentikan dulu rencana pembangunan 6 ruas jalan tol layang ini, sesuai dengan spirit Jokowi untuk SELALU mereview kembali semua proyek-proyek besar transportasi seperti Monorail, dan juga Jalan Layang Tol.

 

*Artikel ini adalah re-post dari tulisan sebelumnya yang sudah kami edit.

15 thoughts on “Rencana 6 Ruas Jalan TolDalKot Jakarta : Bencana Lingkungan Hidup Perkotaan

  1. JhonNaga says:

    Mohon digarisbawahi bahwa rencana pembangunan 6 ruas jalan tol dalam kota tersebut merupakan paket kebijakan dari pemerintah pusat yang telah disetujui oleh Gubernur Jakarta sebelumnya, jadi bukan Jokowi menyetujui pembangunan tersebut. Terimakasih

  2. Hendra says:

    Semoga g jd dibangun. Heran deh, pertambahan kendaraan malah ditambah jg jalannyaLahan di Jakarta ya segini2 aja, naggulangi macet bukan jalan yang ditambah hanya karena kendaraan yang membludak. Tapi kebijakan pembatasan kendaraan/transportasi massal yang kebih baik dan aman.

  3. Tommy Tamtomo says:

    Pak John Naga Yth, ada kalimat di akhir artikel : “Inilah salah satu warisan dari Gubernur yang terdahulu!” di artikel ini. Jadi jelas memang bukan kebijakan Jokowi-Basuki. Trims. Tommy .

  4. Deni Bram says:

    Siap Dukung Pak Tommy, kehadiran Pak Joko Widodo dalam kapasitas ex officio sehingga produk ini bagian karya sebelumnya.

  5. Ari says:

    Bos, kalau baca dari link ini http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=1360275 yang di daftar itu bukan diremove murni karena macet atau sebal dengan tol, tapi banyak freeway di list itu yang hanya dipindahkan, bahkan ada yang ke bawah tanah. Saya pengguna KRL, tapi saya tidak oppose terhadap tol. Tol tetap mesti ada sebagai penggerak ekonomi, karena nature manusia untuk individualis. Tapi memang untuk urutan proyek umum, tol bukan prioritas. Prioritas di angkutan masal. Misalnya nanti di masa depan hampir semua kendaraan pakai listrik, apakah tetap keberatan juga terhadap tol?

    • Elisa Sutanudjaja says:

      Ingin bicara masa depan. Bisa juga. kapan sekiranya akan ada EV? Bahkan di AS produksi utama EV, EV dengan kejamnya sengaja dimatikan oleh produsennya sendiri.
      Kita bicara sekarang dan melihat masa depan, apakah jalan tol yang sekarang kita butuhkan atau 10 tahun lagi kita butuhkan?
      Sebagai pengguna KRL, mungkin Pak Ari harus tahu bahwa sebagian besar jalur tol tersebut menumpang pada jalur KRL dan TransJakarta. Lalu dimana logika penempatannya? tidak ada.

      Tidak ada tulisan diatas yang menunjukkan bahwa freeway diremove karena sebal atau macet. Jika ingin membaca alasan kredibel hasil penelitian mengapa jalan2 layang tersebut dihilangkan setelah 20-30 tahun kemudian, silakan baca hasil penelitian berikut:
      http://issuu.com/rujak/docs/lifeanddeathofurbanhighways_031312

      Keberadaan 6 ruas tol itu seluruhnya melayang sepanjang 67 KM total melayang, bahkan ada 1 lajurnya yg hanya beda 10 meter dari Tugu Pancoran. Bisa membayangkan?

      Saya lebih baik membayangkan dimana untuk kebutuhan mobilitas kota ini bisa dilayani dengan transportasi umum yang cepat, aman, terjangkau, daripada membayangkan EV yang teknologi nya saja belum tersentuh secara luas di Indonesia.

      Saya kutip dari link yang Pak Ari berikan: remove freeways from urban landscapes in an effort to minimize blight and create better land use and smart growth. Freeway removal is an attempt to create transit-oriented development cities that are both walkable and bicycle-friendly.
      Apa itu artinya, kota2 itu sudah sadar 100% bahwa freeway itu menyebakan blight (kerusakan kota secara struktur dan lingkungan), dan bahkan dalam 1 kondisi bisa menurunkan harga tanah serta merusak tata kota.
      Embarcadero, SF berubah menjadi taman dan jalur transportasi umum, Cheonggyeongcheo di Seoul menjadi taman, sungai (sungai dikembalikan paska ditutup oleh jalan layang) dan jalur bus.

      Dan sekali lagi, freeway yg dicontohkan di situ sebenarnya tidak sadis-sadis amat, tidak ada yang sampai 20km. Ini yang mau dibangun di Jakarta panjangnya 67 km? Itu sepanjang apa? Sepanjang 3x pantai Utara Jakarta, dari ujung Pantai Indah Kapuk hingga Marunda.

  6. Pingback: Serial Infografis: Transportasi Umum VS Pribadi « Rujak

  7. koko doko says:

    Untuk perbandingan kota2 lain yang telah mengadakan removal atau dalam proses removal elevated roadways – harus diingat bahwa mereka sudah mempunyai rasio jalan raya dengan jumlah penduduk, dan mode transportasi yang memadai. Jika dibandingkan – total jalan raya di Jakarta hanya 6.2% dari kota, dibandingakan dengan Singapore atau Tokyo yang memiliki 15 – 20% (http://www.thejakartaglobe.com/jammedjakarta/too-many-vehicles-too-few-roads/337363).

    Pembangunan elevated roadways di Jakarta, jika dibandingkan kota2 lain yang dibahas di artikel ini, adalah untuk mencukupi jumlah jalan yang diperlukan untuk kota sebesar Jakarta untuk sekedar berfungsi. Sedangkan untuk kota2 lain, removal of elevated roadways, adalah untuk mengurangi jalan yang berlebihan.

    • Elisa Sutanudjaja says:

      Mas Koko,
      Average car speed di Tokyo adalah 18.8 km/jam dengan road ratio yang mas sebutkan. Sementara average car speed di Jakarta adalah 20 km/jam (kecepatan rata2 yg Jakarta ada di artikel sama yg mas sebutkan).

  8. Pingback: Jokowi Setuju 6 Ruas Jalan Tol, Harapan Jakarta Baru Sirna | mind over matter

  9. Marco says:

    Artinya: road ratio tidak menentukan macet atau tidak. Mengapa kita kembali membahas hal yang sudah selesai dibahas th 1955an ini? Kata Enrique Penelosa: “Tidak ada rumus untuk road ratio alamiah itu. Seberapa banyak jalan untuk mobil atau tidak itu sepenuhnya keputusan politis, tidak perlu tanya ahli transportasi (dan planner…sorry)”

  10. Pingback: mbt ????

Comments are closed.