Apa yang Diwariskan dari “Warisan Budaya?”

Tulisan Oleh: Haratua Zosran

Apakah yang dapat diwariskan kiamat antroposen? Apakah cerita indah tentang masa lalu; sebelum permukaan air menjadi tinggi, sebelum tembok laut dan pompa air? Mungkinkah kita  menemukan peringatan bahaya dibalik cerita-cerita indah tersebut? Apakah yang dapat diwariskan dari masa muda yang dipenuhi kepayahan (dan masa tua, kekhawatiran) akan tenggelam?

Pada 6 November 2024, Islam Shabana membuka pameran karya seninya “Atlantis of the Marble” sebagai bagian aktivasi sekaligus pengawal ajang lokakarya program kolaborasi seni-sains Sinking Cities di Aleksandria. Pameran karya seni ini merupakan respon dari penelitian bertajuk “warisan budaya sebagai sumber daya transformatif untuk adaptasi perubahan iklim” yang dilakukan bersama Yasmine Hussein. Melalui karyanya, pertanyaan-pertanyaan di awal dimunculkan Islam dalam rupa yang kontekstual. Merespon obsesi para arkeolog, budayawan, dan museolog untuk menemukan makam Iskandar Agung (yang ditengarai tenggelam di dasar Laut Tengah), Islam menghadirkan “makam” batu pualam ke pusat perhatian sebagai nubuat malapetaka tenggelamya Aleksandria— setidaknya apabila pemerintah terus meningkatkan pendanaan ke industri turisme (yang Islam sebut sebagai “nekroturisme1) alih-alih infrastruktur pencegahan banjir rob. 

Mesin Cetak. Foto oleh Hossam Ezzat

Di permukaannya, mesin laser bekerja membubuhkan kesan dan pesan warga Aleksandria,  yang Islam kumpulkan beberapa waktu sebelum pameran, tentang kotanya. Audiens juga diundang untuk berpartisipasi dengan memindai QRcode yang tersedia di depan ruang pamer. Seiring berjalannya waktu, “makam” ini akan dipenuhi tulisan tentang pengalaman pribadi para audiens —semacam “kapsul waktu” untuk masa depan— sebelum Aleksandria tenggelam di bawah dasar laut. 

Secara materialitas, batu pualam mengundang atensi yang spesifik. Batu pualam tidak hanya material yang paling umum ditemukan di situs sejarah Romawi, Helenis, dan Mesir Kuno, tetapi juga merupakan obsesi tersendiri bagi masyarakat Mesir kiwari. Dipasang di lantai, di atas meja dapur, juga sebagai plakat peresmian gedung yang ditandatangani pejabat— batu pualam atau marmer merupakan perlambangan status dan selera yang agung. 

Detail hasil cetak. Foto oleh Hossam Ezzat

Namun, marmer yang dipamerkan Islam hanyalah gadungan. Setelah disentuh, barulah ketahuan bahwa permukaan itu berbahan dasar PVC, imitasi dan maka dari itu opsi paling murah dari marmer. Tapi serupa dengan marmer, PVC tahan zaman malahan tidak terurai. Kalau ada satu material yang paling cocok membawa kenangan tentang Aleksandria sebelum tenggelam tetap awet ke masa depan, ialah (ironisnya) plastik. Pemilihan Islam atas PVC juga berbicara tentang pemutarbalikan suara, atau kemampuan bersuara, kembali ke warga biasa Aleksandria untuk “mengukir sejarah”-nya sendiri.

Sekarang Aleksandria melaju dalam trayektori menuju tenggelam: satu meter di atas permukaan laut pada tahun 2070. Dengan risiko tenggelam yang mentereng di depan mata, karya Islam mengajukan pertanyaan yang sama-sama ditanyakan di Jakarta dan Bremen: apa yang dapat diwariskan “warisan kebudayaan” di hadapan kiamat antroposen? Lebih spesifiknya, apakah warisan dari ketertenggelaman? Lokakarya di Aleksandria menjadi ajang bagi RUJAK sebagai kolaborator Jakarta bersama Schwankhalle (Bremen) untuk memikirkan ulang tajuk penelitian dalam dimensi yang (lebih) temporal, terkhusus untuk luaran karya seni di kedua kota tahun 2025 nanti. 

Lokakarya di Aleksandria

Hartua Zosran mempresentasikan Sinking Cities Project di Jakarta.

Kegiatan pertama meliputi presentasi lokakarya Haratua Zosran di Jakarta. Lokakarya ini menguak bagaimana warisan budaya maritim Jakarta telah tergerus dan dalam prosesnya memunculkan budaya-budaya baru. Tembok skema NCICD menutup pemandangan laut dan membuat bermain ke laut menjadi semakin berbahaya. Di sini, warisan budaya baru juga muncul, yang tentunya lebih amfibius dibandingkan sebelumnya, seperti salah satunya aktivitas anak-anak yang memaksa berenang di tanah endapan depan tembok. Tetapi ini juga berarti bahwa warisan budaya tersebut masih dalam proses penciptaan —-proses yang andil besarnya terletak pada anak-anak dan kaum muda. Melalui lokakaryanya, Haratua membawa premis “warisan budaya” ke jarak pandang yang lebih dekat. Warisan budaya, sebagai konsep, dipreteli untuk memberi jalan bagi konseptualisasi lain dari sudut pandang anak-anak dan kaum muda. Haratua menganggap bahwa “bermain” merupakan salah satu cara untuk mengalamatkan warisan-warisan budaya baru ini secara lebih kontekstual.

Atensi terhadap generasi muda juga dilontarkan Jan dan Stine dari Schwankhalle. Mereka mengkritisi absennya imajinasi di dalam percakapan teknokratik yang memenuhi diskursus perubahan iklim internasional. Hegemoni kepakaran memaksakan perhitungan yang saklek, terperinci secara angka, dan teruji teori; dan yang dalam banyak hal tidak memberikan ruang terhadap kapasitas kreatif untuk membayangkan metode dan pendekatan lain. Jan dan Stine berencana untuk membangun taman bermain sebagai proyek eksplorasi karya seni mereka di Bremen, bulan Mei tahun depan. Melalui taman bermain, Jan dan Stine mengundang anak-anak dan kaum muda Bremen untuk ikut bermain dan membayangkan solusi ketertenggelaman kotanya secara lebih kreatif. Dengan cara tersendiri, Jan dan Stine juga mengajak kita (dan para peneliti iklim, tentu saja) untuk ikut bermain dan berimajinasi bersama. 

Konsep “bermain” dibawa lebih jauh oleh Hilke dan Annika dari City Science Lab melalui rangkaian permainan yang mereka namakan “serious games.” Serious games ini meliputi permainan kartu dan peran yang mereka kembangkan di Science City Lab bernama “Up:Town.” Pertama, para peserta lokakarya dibagi ke dalam dua kelompok (kelompok = distrik) berjumlah lima orang. Hilke dan Annika kemudian membagikan plastisin dan lego di samping kartu dengan kepada masing-masing peserta di dalam kelompok. Kelompok akan menerima dua jenis kartu berbeda, dua orang sebaga perencana kota dan tiga orang sebagai warga. Di tiap kartu yang diterima, para peserta memperoleh deskripsi kepribadiannya dan latar belakang dari peran yang dimainkan. Selain kartu peran, Hilke dan Annika juga membagikan satu lagi kartu berisi karakteristik distrik tiap kelompok. Setelah lego, plastisin, dan kartu telah dibagikan, Hilke dan Annika membacakan premis sesi permainan: Up Town menerima peringatan tsunami. Perencana kota harus bekerja sama dengan warga untuk memikirkan langkah evakuasi terbaik sesuai dengan karakteristik distrik, kepribadian perencana, dan latar belakang tiap warga. Lego dan plastisin dapat digunakan untuk memvisualisasi rencana yang telah dirundingkan. 

Sesi “serious games” Up:Town.

Melalui proses perundingan yang intensif antar masing-masing peserta, permainan ini melatih daya kreativitas terkait komunikasi, penyelesaian  konflik, dan yang paling utama, imajinasi perencanaan kolaboratif. Permainan peran (roleplay) tidak hanya membuka kapasitas untuk memahami perspektif peserta lain, tetapi juga membuka sensitivitas peserta untuk mengambil posisi yang mungkin tidak akan diambil pada kondisi lazim. Di sini, para perencana mengambil posisi sebagai warga biasa, dan juga sebaliknya. Penggunaan plastisin dan lego juga mempermudah para peserta untuk mengejawantahkan imajinasinya dalam rupa yang lebih inderawi. Dalam beberapa hal, plastisin dan lego pun membantu proses kreatif pemecahan masalah yang seringkali tidak berjalan secara linear dari rencana ke implementasi. Improvisasi menjadi kunci utama penemuan solusi yang paling baik dan adil. Dan inilah tajuk “bermain” yang dimunculkan sepanjang lokakarya.  

Playful Approach   

Lokakarya Aleksandria ini diberi tajuk “playful approach” oleh City Science Lab, Hafencity University Hamburg —mengakui menonjolnya aspek “permainan” di dalam eksplorasi karya seni di kedua kota. Memang benar, permainan dan kanak-kanak merupakan dua hal yang tak terpisahkan di Jakarta sama dengan Bremen. Dengan cara yang serupa, lokakarya ini merupakan upaya mendamaikan permainan sebagai siasat mengeksplorasi imajinasi alternatif atas perubahan iklim. Warisan kebudayaan, di tengah-tengah premis penelitian ini, mengokupasi posisi sentral dalam meminjamkan pengetahuan dan imajinasi dari masa lampau untuk solusi adaptasi ketertenggelaman di masa mendatang. Dan dengannya, kini kita kembali mempertanyakan warisan: apakah ketertenggelaman merupakan warisan yang dibayangkan generasi bapak dan kakek kita?

  1. Setidaknya ada tema kekeluargaan yang cukup membekas dalam mengalamatkan ketertenggelaman; tema yang juga cukup menonjol ditemukan di dalam pembangunan. Di Indonesia, di Jakarta, kita memanggil kembali ke dalam ingatan tentang Repelita yang hasilnya dituai sekarang: ekstraksi air tanah yang tidak terkontrol akibat industrialisasi dan pembangunan tidak ramah lingkungan. Kita bertanya, apakah ini warisan yang dibayangkan Bapak Pembangunan kepada anak-anaknya? 
  2. Dan selazimnya keluarga, ada anak-anak yang enggak kebagian warisan. Dapatkah kita menemukan mereka di pesisir Jakarta? Apakah anak-anak Akuarium punya kemewahan sama untuk meninggalkan warisan kepada anak-anak mereka nanti? Apakah sinisme yang tersisa dari mempertanyakan warisan? Yang tersisa dari yang dicanangkan di dalam lokakarya ini adalah pertanyaan agak suram: apakah ‘merekam’ satu-satunya kemewahan yang dapat diwariskan? Merekam, merekam, dan merekam. Apakah tidak cukup? 

Di ujung lokakarya, masing-masing peserta diajak untuk menuliskan tiga hal: apa yang sudah dilakukan, hendak dilanjutkan, dan disudahi. Untuk bagian “disudahi,” saya menuliskan “Sudahi mengulang retorika “ketangguhan” dalam perubahan iklim.” Yang saya pelajari dari lokakarya ini adalah keharusan untuk memikirkan ulang posisi program ini dalam upaya membangun adaptasi ketertenggelaman yang lebih representatif —dan dengannya merekam masa kanak-kanak kampung pesisir Jakarta secara lebih adil. Ini membawa saya ke pertanyaan sama: “apakah warisan yang dapat ditinggalkan anak-anak Akuarium?” Apakah cerita indah tentang masa sebelum tenggelam? Nyatanya banjir telah mengambil mayoritas porsi pengalaman kanak-kanak, atau dapatkah kita menemukan peringatan bahaya, nubuat yang perlu diindahkan? Apakah warisan kalau bukan bentuk kasih sayang kepada anak? 

Di kiamat antroposen, merekam agaknya merupakan satu-satunya kasih sayang yang dapat ditinggalkan orang tua kepada anaknya. Di akhir refleksi ini, saya berupaya untuk menjawab pertanyaan yang saya ajukan di awal dengan merekam masa kanak-kanak, masa bermain, kampung pesisir Jakarta dengan lingkungannya yang berubah. 

Tim seni-sains dari program *Sinking Cities* yang melibatkan tiga kota.; Jakarta, Bremen, dan Alexandria

1 Nekroturisme, walau tidak pernah terdefinisikan, mengacu pada pariwisata ke kuburuan. Islam menyebutnya sebagai pariwisata “benda-benda mati”. Ini dapat diartikan sebagai “pariwisata ke reruntuhan, situs, dan monumen masa lampau (menyinggung pada warisan sejarah Mesir kuno dan helenistik yang mewarnai industri pariwisata Mesir).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *