Jakarta Tenggelam (?): Kolektivitas, Identitas, dan Kepercayaan Masyarakat Kampung dalam Menjawab Tantangan Lingkungan

Semakin hari, percakapan publik tentang ketertenggelaman Jakarta makin santer di telinga khalayak. Jika kita memasukkan kata kunci “Jakarta tenggelam” di Google Trends, terlihat bahwa topik ini mulai mencuat di bulan September 2010, ketika media massa mengangkat hasil studi ilmiah yang memprediksi sebagian wilayah Jakarta akan tenggelam di masa depan. 

Walau sempat menurun setelahnya, selama lima tahun terakhir pertumbuhan rasa penasaran masyarakat terkait kata kunci ini menunjukkan tren naik. Dari analisis tersebut terlihat juga bahwa seputar laju ketertenggelaman adalah turunan kata kunci yang paling diminati masyarakat terkait topik ini.

Tetapi, bagaimana sebenarnya masyarakat kampung di pesisir utara Jakarta, sebagai komunitas yang paling terdampak bencana ini, memahami ancaman ketertenggelaman kotanya?

Pada bulan Mei hingga Agustus 2024, Rujak melakukan penelitian berjudul Sinking Cities – Jakarta, guna mengeksplorasi peran warisan budaya dalam adaptasi masyarakat kampung pesisir menghadapi ketertenggelaman kotanya. Penelitian ini dilakukan bekerja sama dengan HafenCity University, Hamburg, Jerman, sebagai bagian dari studi global yang mencakup Iskandariyah di Mesir dan Bremen di Jerman—dua kota lain yang juga menghadapi ancaman serupa.

Pemilihan warisan budaya sebagai tema utama penelitian menjadi penting karena perspektif ini sering hilang dalam perbincangan tentang ketertenggelaman. Adapun penggunaan kampung sebagai sudut pandang penelitian di Jakarta bertujuan mengungkap perannya sebagai ‘lapisan kelima’ yang sering terlupakan dalam wacana pembangunan kota.

Tim Sinking Cities di Kampung Marlina, Jakarta.

Untuk itu, penelitian ini menggali warisan budaya masyarakat seputar lingkungan binaan, mitos dan cerita, serta ritual dan tradisi masyarakat, khususnya yang bersumber dari masyarakat Kampung Akuarium, Kampung Gedong Pompa, Kampung Muara Angke, Kampung Cilincing, serta pengurus makam Mbah Priok di Jakarta Utara. Selain itu, studi ini juga memuat cuplikan pengetahuan yang dihimpun oleh Irwan Ahmett dan Tita Salina, dua seniman yang melakukan ziarah pesisir utara Jakarta secara berkala, termasuk yang berasal dari Kampung Dadap di bagian barat Teluk Jakarta.

Budaya, Infrastruktur, dan Mitologi dalam Adaptasi

Penelitian ini menunjukkan bahwa adaptasi masyarakat pesisir Jakarta tidak semata-mata berbasis infrastruktur atau aspek fisik saja, melainkan juga budaya, mitos, dan praktik kolektif. Sebagai contoh, infrastruktur raksasa seperti tanggul laut National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) sering kali diposisikan sebagai simbol ketahanan menghadapi ketertenggelaman Jakarta. Namun, keruntuhan sebagian tanggul ini di Muara Baru pada 2019 menjadi pengingat bahwa pendekatan teknokratis semata tidak cukup untuk mengatasi ancaman kerentanan kota yang kompleks.

Warga terpisahkan dari laut yang tadinya menjadi bagian penting kehidupannya.

Sebaliknya, masyarakat pesisir seperti di Kampung Muara Angke dan Gedong Pompa menunjukkan bahwa adaptasi juga terjadi melalui perubahan kecil yang berbasis komunitas, seperti meninggikan rumah mereka untuk menghadapi penurunan tanah. Di Muara Angke, misalnya, Weni dan Binggo memodifikasi rumah mereka untuk tetap tinggal di wilayah yang kerap menghadapi ancaman banjir.

Mitos dan Kepercayaan sebagai Pilar Adaptasi

Mitos juga berperan penting dalam menghubungkan masyarakat dengan warisan sejarah mereka. Figur seperti Mbah Priok di Jakarta Utara memberikan kerangka spiritual yang membantu masyarakat memahami perubahan lingkungan. Kepercayaan terhadap nilai spiritual makam ini tidak hanya memperkuat solidaritas sosial, tetapi juga menjadi bagian dari narasi kolektif masyarakat dalam menghadapi tantangan lingkungan. Misalnya keyakinan para pengikut Mbah Priok bahwa pemindahan makam junjungannya adalah yang akan membuat Jakarta jadi tenggelam.

Pak Muslimin menceritakan tentang budaya upacara sedekah laut di Muara Angke.

Selain itu, upacara sedekah laut seperti Nadran menunjukkan bagaimana ritual keagamaan dan budaya lokal dapat menyatukan masyarakat dari berbagai latar belakang. Upacara ini, meskipun yang diadakan di Jakarta umumnya berakar pada tradisi masyarakat Parean, kini turut dirayakan oleh anggota masyarakat dari berbagai kelompok etnis di pesisir Jakarta, misalnya Bugis, Jawa, dan Bone. Partisipasi lintas budaya ini mencerminkan identitas kolektif masyarakat pesisir yang terus berkembang.

Integrasi Budaya dalam Strategi Adaptasi

Perspektif ini menunjukkan bahwa budaya tidak hanya menjadi korban dari krisis lingkungan, tetapi juga alat dinamis yang digunakan masyarakat untuk bertahan dan beradaptasi. Dengan mengintegrasikan dimensi budaya ke dalam strategi adaptasi, Pemerintah Jakarta, bersama masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya, dapat mengembangkan pendekatan yang lebih holistik. Pendekatan infrastruktur harus mempertimbangkan dan mengakui keberadaan aspek budaya masyarakat yang terkena dampak, serta mengadopsinya ke dalam solusi final yang dijalankan.

Nelayan Muara Angke yang beradaptasi di tengah kehilangan lahan dan perubahan iklim.

Masyarakat pesisir Jakarta Utara membuktikan bahwa adaptasi terhadap tantangan lingkungan lebih dari sekadar infrastruktur fisik. Mitos, ritus, dan praktik budaya memberikan kesinambungan dan makna dalam menghadapi perubahan. Dengan menghormati keberadaan aspek budaya ini dan mengintegrasikannya ke dalam upaya adaptasi yang lebih luas, niscaya Jakarta tidak hanya mampu bertahan dalam wujud fisik kota, tetapi juga merawat identitas dan warisan budayanya.

Laporan lengkap Sinking Cities Jakarta (dalam bahasa Inggris) dapat diunduh di sini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *