Akun twitter Suku Dinas Komunikasi, Informasi dan Statistika Jakarta Utara menampilkan rangkaian twit, foto dan video yang menggambarkan penertiban dan penggusuran bangunana dan lapak barang bekas di saluran air dan Jalan Sunter Agung Perkasa 8. Penertiban yang terjadi pada hari Kamis, 14 November 2019 tersebut melibatkan sekitar 1500 aparat gabungan yang terdiri atas PPSU (Pasukan Oranye), Satpol PP, Polisi dan TNI (Catatan: berita Kompas tidak menyebutkan TNI, namun kami mendapati logo TNI pada tenda aparat gabungan). Alasan Pemprov DKI melakukan penertiban karena ada 60 bangunan lapak barang menempati saluran air dan sebagian jalan sehingga menyebabkan saluran air tidak berfungsi dan berbuntut pada munculnya genangan setinggi 50 cm tiap hujan. Lapak tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat usaha barang bekas saja, namun menjadi tempat tinggal para pemulung dan keluarganya serta pegawai pabrik-gudang sekitar.
Sejarah pendudukan tanah dan saluran air oleh lapak barang bekas tersebut dimulai pasca Krisis 1998. Saat itu memang terjadi perpindahan penduduk ke Jakarta untuk mencari nasib yang lebih baik. Pemutusan Hubungan Kerja besar-besaran juga mendorong beralihnya penghidupan ke sektor informal. Dan sektor informal kerap kali disebut-sebut sebagai penyelamat pasca krisis ekonomi. Bentuk ekonomi informal ini tak hanya ojek, pedagang kaki lima hingga warung tenda artis, tapi termasuk diantaranya juga usaha barang bekas.
Penggusuran lapak barang bekas di Sunter Agung itu kembali memunculkan pertanyaan yang tak terjawab yaitu relasi antara perencanaan kota dan ekonomi informal – termasuk bagaimana kota mengakomodasi ruang dan merencanakan serta menyelenggarakan program dan kebijakan. Keberadaan lapak bekas di berbagai sudut kota Jakarta sebetulnya sudah menjadi kehidupan dan ruang Jakarta. Dengan mudah kita menemukan mereka di Kebon Kacang, Kemanggisan, Tanah Merah, hingga kolong tol Penjaringan. Selain itu, ada pertanyaan lagi yang tak terjawab, yaitu bagaimana menyediakan permukiman bagi tenaga kerja yang bekerja di kawasan industri dan pergundangan. Dalam Peraturan Zonasi DKI Jakarta, kegiatan Industri dan Pergudangan tidak dapat mengakomodasi hunian, kecuali rumah susun. Namun mari bahas soal tanggung jawab pengadaan hunian tersebut pada tulisan berikutnya.
Informalitas dan produksi ruang di kota
Kota yang produksi ruang dan ekonominya didominasi oleh praktek kapitalistik seperti Jakarta, sesungguhnya menghasilkan juga tempat-tempat penampungan dan pengolahan barang bekas seperti di Sunter Agung. Pada suatu waktu, seiring dengan perubahan zonasi dan peningkatan nilai tanah di sekitarnya, tempat tersebut akan tertekan, dianggap tak pantas (karena masalah kebersihan dan keindahan) dan akhirnya tergusur – baik terjadi secara perlahan maupun dengan pemaksaan. Ekonomi kapitalistik pun berupaya “memecahkan” masalah sampah melalui fiksasi keruangan (spasial): dengan memindahkan sampah-sampah (dalam hal ini barang bekas) secara terus menerus.
Dalam kasus Sunter Agung, pengusaha barang bekas menerima berbagai perangkat alat kantor bekas dari banyak perusahaan yang secara berkala melakukan perubahan interior dan furnitur kantor – dan pengusaha barang bekas tersebut menjadi agen untuk memindahkan dan memodifikasi ulang barang bekas – walau sampahnya tidak pernah hilang. Jadi, produksi nilai dalam sistem ekonomi dan ruang kapitalistik seperti Jakarta tidak akan mungkin terwujud dan langgeng tanpa keberadaan “pengelolaan sampah dan barang bekas” seperti yang terjadi di Sunter Agung. Tempat seperti Sunter Agung makin dibutuhkan dan relevan ketika produksi meningkat dan perlu dikonsumsi.
Di sisi lain, tak hanya eksploitasi ruang kota, praktek pengelolaan barang bekas dan sampah ini tak jarang membahayakan pelakunya, karena mereka bekerja dalam lingkungan kerja yang tidak layak dan minim perlindungan, bahkan dalam beberapa kasus harus menghirup dan hidup bersama limbah B3, seperti pengolahan limbah aki ini. Tenaga kerja disini berada dalam kelas dan situasi yang berbeda dengan juragan lapak. Tak hanya hidup dan bekerja secara tidak layak, tak jarang mereka harus menerima stigma sosial karena bekerja dan hidup bersama sampah.
Untuk kota-kota pascakolonial di Belahan Selatan seperti Jakarta yang masih kental dengan informalitas – bagaimana kota-kota tersebut memperlakukan sampah tentunya berbeda dengan kota-kota di Jepang hingga Eropa Barat. Dari Bholakpur, Hyberdabad hingga ke Bantar Gebang, Bekasi, bagaimana sampah dikelola – dan dimana dan oleh siapa – perlu dipahami tak hanya dari sisi lingkungan hidup saja tetapi bagaimana mobilisasi yang terjadi pada kelas pekerja serta relasi penguasaan tempat yang terjadi didalamnya. Pemahaman yang mendalam akan relasi yang muncul antara pengasong, pemilik lapak, penjual hingga kawasan permukiman dan daerah industri itu sendiri dapat memberikan masukan bagaimana seharusnya kota menyikapi fenomena diatas tersebut.
Ketidakmampuan memahami informalitas di kota akhirnya menghasilkan kebijakan yang reaksioner dan sementara – dan sesungguhnya hanya memindahkan masalah ke tempat lain. Pada kasus Sunter Agung akhirnya solusi yang ditawarkan pemerintah hanya solusi pindah ke rusun tanpa benar-benar memahami bagaimana kegiatan informal tersebut terjadi dan terproduksi. Pada akhirnya, bisa saja sekitar 50-60 pemilik lapak tersebut sembarang mencari tempat lain untuk menaruh dan meneruskan transaksi dan praktek pengelolaan barang bekas – dan kita tidak dapat memastikan apakah tempat barunya dapat memastikan keamanan berusaha dan bermukim bagi pengasong dan keluarganya. Dan praktek penguasaan lahan dengan potensi penggusuran di masa depan, terulang lagi dan lagi – tanpa pernah ada solusi.
Selagi tidak ada perubahan dalam pola produksi dan konsumsi, keberadaan pengelolaan barang bekas ini akan terus menjadi bagian dalam kota. Sayangnya pola konsumsi dan produksi juga menyebabkan peningkatan kebutuhan ruang yang problematik. Di Fushimi, Kyoto, ada puluhan pengusaha barang bekas dan industri yang mengokupasi tanah secara ilegal (dianggap tidak sesuai dengan aturan tata ruang Kyoto) selama lebih dari 2 dekade. Keberadaan mereka seperti hubungan “benci tapi cinta” dengan pemerintah. Karena mereka tidak diakui pemerintah, maka infrastruktur pun harus diselenggarakan secara swadaya. Namun berbeda dengan Jakarta, kini pemerintah Kyoto sedang melakukan perencanaan bersama dengan penduduk dan difasilitasi oleh berbagai universitas untuk mencari jalan keluar bersama.
Bagaimana dengan Jakarta?
Sampai hari ini, Peraturan Daeran 1/2014 tentang Rencana Detil Tata Ruang dan Peraturan Zonasi sama sekali tidak mengakomodasi kegiatan terkait pengelolaan barang bekas dan sampah. Sampah hanya dianggap cukup dikelola di berbagai tempat pembuangan, bank sampah dan (nantinya) ITF; sementara eksternalitas dan produksi dari kegiatan konsumsi yang terjadi terus menerus dan terakumulasi, sama sekali tidak diperhitungkan dalam Perda tersebut. Seruan korban gusuran Sunter Agung yang menolak rusun karena rusun tidak bisa mengakomodasi kebutuhan ekonomi mereka juga menandakan pengabaian kota akan mata rantai produksi-konsumsi yang terjadi di kota. Selama ini Rencana Tata Ruang kita hanya berpusat pada bagaimana tampilan depan kehidupan manusia (tinggal, hidup, bekerja, sekolah, aktualisasi dan variasinya), namun mengabaikan bagaimana kita memperlakukan ekses dari kegiatan dan kehidupan kita itu.
Kota harus menyadari, bahwa kota membutuhkan tempat dan usaha pengelolaan barang bekas seperti di Sunter Agung. Di sisi lain, usaha tersebut jangan menjadi parasit dalam ruang dan lingkungan hidup kota serta mengeksploitasi kemiskinan dan keterpaksaan para pengasong. Selagi Jakarta tak mampu mengubah pola produksi dan konsumsinya, maka mau tak mau harus diambil jalan tengah bagaimana menfasilitasi keberadaan pengelolaan barang bekas dalam kota. Memberi ruang, tak hanya dalam kebijakan namun secara fisik, termasuk diantaranya memunculkan kegiatan tersebut dalam permukaan – sesederhana dalam kegiatan RDTR, masterplan (RTRW) dan perencanaan pembangunan.
Memberikan ruang, terutama dalam konteks Rencana Detil Tata Ruang dan Peraturan Zonasi sesungguhnya tidak sesederhana “hanya memberikan ruang lalu selesai”. Begitu suatu kegiatan diakui dalam Peraturan Daerah tersebut, maka kegiatan pengelolaan barang bekas masuk dalam sistem dan proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang, termasuk “pembinaan” dan pengaturan. Terbuka jalan pula agar kegiatan pengelolaan barang bekas itu memiliki keamanan berusaha sekaligus membuka jalan akan perlindungan tenaga kerja informal, dalam hal ini pengasong. Konsekuensi tak hanya pada pelaku saja, namun juga ada kewajiban baru bagi pemerintah untuk memberikan ruang atau pengadaan tempat bekerja sama dengan kawasan industri maupun pergudangan yang memang mendapatkan manfaat dari keberadaan pengelolaan barang bekas.
Tentu kebijakan secara ruang dan penataan ini hanya berlaku sementara – karena sesungguhnya yang ruang tetaplah terbatas dan terkontestasi. Kedepannya, Jakarta (dan Indonesia) tetap memerlukan tak hanya strategi daur ulang, tapi juga mengurangi sampah.
Pingback: Lama dan Baru - Rujak