Oleh: Elisa Sutanudjaja, Sophie Trinita
Setelah berpindah-pindah tempat selama masa pandemi, Perpustakaan Rujak akhirnya kembali hadir dan siap menyambut para pengunjung. Kini, perpustakaan ini menempati ruang baru yang lebih permanen di kantor Rujak Center for Urban Studies — Rumah Flat pertama di kawasan Transit Oriented Development (TOD) Dukuh Atas. Lokasi ini bukan sekadar tempat baru, tetapi juga bagian dari perjalanan panjang advokasi Rujak dalam mendorong hadirnya hunian terjangkau di pusat kota yang terintegrasi dengan transportasi publik.
Kembalinya Perpustakaan Rujak tak lepas dari dukungan program Sahabat Kota, sebuah program keanggotaan untuk mendukung kerja-kerja kolektif Rujak dalam membangun kota yang lebih adil dan lestari. Melalui program ini, para uang keanggotaan Sahabat Kota sepenuhnya dipakai untuk membangun ulang tempat koproduksi pengetahuan kota ini.
Lebih dari sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah infrastruktur sosial penting bagi sebuah kota. Dalam bukunya Palaces for the People, sosiolog Eric Klinenberg menyebut perpustakaan sebagai ruang paling egaliter dan demokratis — tempat di mana siapa pun dapat mengakses pengetahuan, membangun jejaring sosial, dan memperkuat kepercayaan antarkelompok. Jika ingin membangun masyarakat yang lebih setara dan terhubung, memperkuat infrastruktur sosial seperti perpustakaan adalah langkah penting.
Penelitian serupa dari McMaster University juga menegaskan bahwa perpustakaan publik, terutama dalam skala besar, kini berkembang menjadi pusat komunitas yang merawat keterhubungan sosial dan inklusi. Di tengah meningkatnya isolasi sosial, perpustakaan menawarkan ruang aman, aksesibel, dan penuh makna bagi berbagai kelompok masyarakat — dari anak-anak, remaja, lansia, imigran, hingga kelompok rentan. Kehadiran perpustakaan memperkuat ketahanan komunitas dengan menciptakan rasa memiliki dan ruang untuk terlibat, baik secara fisik maupun virtual. (Sumber: McMaster University, 2023)
Sebagai ruang belajar bersama, Perpustakaan Rujak menyimpan koleksi buku, jurnal, laporan penelitian, serta dokumen penting lain yang merekam berbagai isu perkotaan, lingkungan, perubahan iklim, arsitektur, perencanaan kota, hingga gerakan warga. Juga koleksi kesenian, kebudayaan, hingga sastra, serta fisik. Semua ini adalah hasil dari sumbangan banyak pihak, dan mendukung kerja-kerja panjang Rujak selama lebih dari satu dekade dalam mendampingi komunitas, memproduksi pengetahuan, dan memperjuangkan hak atas kota.
Bagaimana proses penyusunan kembali dan perbaikan koleksi perpustakaan ini berlangsung? Cerita lengkapnya akan disampaikan oleh pustakawan Rujak di bagian berikutnya.
“Proses penyusunan di perpustakaan Rujak diawali dengan tahap perencanaan. Saat pertama kali saya datang, buku-buku masih tersebar dan tidak beraturan dikarenakan perpindahan dari kantor sebelumnya hingga ke rumah barunya saat ini. Buku bertumpuk satu sama lain tidak peduli akan perbedaan topik, menandakan saatnya mereka butuh perhatian lebih untuk dipertemukan dengan kawanan satu rumpun topik yang memudahkan pemustaka nantinya dalam menelusuri koleksi.
Mengawali hal tersebut, saya menghitung jumlah kasar koleksi yang tampak pada rak untuk memperkirakan kebutuhan material, seperti halnya rak tambahan, folder, hingga box files guna mendukung penataan keberagaman bentuk koleksi yang ada. Selanjutnya, perhitungan kasar koleksi dapat membantu proses penyusunan strategi pendataan yang sekiranya paling efisien, dengan visi bagaimana nantinya perpustakaan ini dapat dikelola secara berkelanjutan dan juga tidak rumit digunakan.
Pendataan koleksi pun beralih dengan bagaimana tujuan perpustakaan Rujak ini akan digunakan nantinya. Sebelumnya, pemilahan koleksi Rujak berdasarkan kode rak (contoh: L1, L2, L3, dst.), lalu ada beberapa koleksi yang dilabel dengan angka buku yang di data (contoh: buku ke-61 adalah X), dan masih banyak yang belum terekam pada pendataan digital. Melalui hal tersebut, saya mengadopsi sistem klasifikasi yang cukup umum digunakan oleh banyak perpustakaan di Indonesia, Klasifikasi Persepuluhan Dewey atau Dewey Decimal Classification (DDC), guna menumbuhkan rasa familiar dalam penggunaan informasi dalam mencari koleksi Rujak.
Mengapa DDC? Selain sebelumnya saya sebutkan sebagai yang umum digunakan oleh banyak perpustakaan di Indonesia, DDC yang sudah digunakan sejak 1876 ini berkembang pada masa di mana banyak perpustakaan tidak lebih besar daripada perpustakaan sekolah dengan minat baca dan kebutuhan informasi yang serupa (Shorten, Seikel & Ahrberg, 2005) yang dalam hal ini memiliki karakteristik serupa dengan perpustakaan Rujak yang berfokus pada tema besar studi perkotaan. Terkait visi berkelanjutan dan tidak rumit, penggunaan sistem DDC mewadahi hal tersebut dengan skemanya yang lugas dan mudah diingat (Lund & Agbaji, 2018), sehingga mudah digunakan oleh para pemustaka dalam mendapatkan informasi yang dibutuhkan.”
Informasi koleksi yang dimiliki oleh perpustakaan Rujak saat ini dapat diakses secara daring pada tautan: bit.ly/DataBukuRCUS.
Perpustakaan Rujak hari ini bisa kembali hadir dan dibuka untuk publik berkat dukungan penuh dari para Sahabat Kota. Melalui program membership ini, total keanggotaan sebesar Rp10.350.000,- yang digunakan untuk menata ulang koleksi, memperbaiki fasilitas, serta menyiapkan ruang perpustakaan agar nyaman dan mudah diakses oleh siapa pun yang ingin belajar tentang kota dan kehidupan bersama di dalamnya.
Kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh Sahabat Kota yang telah mempercayakan dukungannya kepada Rujak. Kehadiran perpustakaan ini adalah bukti nyata bahwa kerja-kerja kolektif untuk merawat pengetahuan dan ruang bersama tetap mungkin diwujudkan di tengah kota yang terus berubah.
Bagi yang ingin ikut bergabung menjadi bagian dari Sahabat Kota dan mendukung program-program Rujak lainnya, informasi lebih lanjut bisa diakses melalui tautan: s.id/SahabatKota atau langsung menghubungi kami di sahabatkota@rujak.org. Bersama-sama, kita mendorong berbagai perubahan menuju kota adil dan lestari.
REFERENSI:
- Dalmer, N., McKenzie, P., Rothbauer, P., Martin-Yeboah, E., & Oswald, K. (2022). “Palaces for the people”: Mapping public libraries’ capacity for social connection and inclusion. McMaster University. https://doi.org/10.25931/28142
- Lund, B., & Agbaji, D. (2018). Use of Dewey Decimal Classification by Academic Libraries in the United States. Cataloging & Classification Quarterly, 56(7), 653–661. https://doi.org/10.1080/01639374.2018.151785
- Shorten, J., Seikel, M., & Ahrberg, J. H. (2005). Why do you still use Dewey? Library Resources & Technical Services, 49(2), 123-131. https://doi.org/10.5860/lrts.49n2.123