Hunian 4 Lantai Lebih Berkelanjutan

Penulis: Andrea Fitrianto

Orang bilang Jakarta bukan “kota” tetapi kampung besar karena di Jakarta rumah-rumah berdiri di lahan masing-masing sebagian besar dengan halaman sendiri sebagaimana rumah pedesaan. Ciri-ciri hunian kota yang multi-keluarga, yang efisien dalam penggunaan lahan, tidak umum di Jakarta, begitu juga layanan dasar kota seperti jalur pejalan kaki dan taman kota, sulit ditemui.

Memang, Jakarta pada awalnya adalah kota-kota yang beraglomerasi. Batavia dengan Meester Cornelis, belakangan dengan kampung-kampung seperti Kemang dan Condet. Diantaranya dibangun hunian modern berkonsep garden city, berkepadatan rendah, satu-dua lantai, seperti di Menteng, Kebayoran Baru, Pondok Indah, Pulomas, dan lain-lain.

Padahal kepadatan (density) adalah kata kunci bagi kota. Asumsi umum mengatakan semakin padat maka semakin efisien, ini terkait mahalnya lahan dan pengadaaan layanan kota—air bersih, saluran pembuangan, jaringan listrik, dan lain-lain. Tetapi, kota adalah wujud eksistensi sosial-budaya manusia, bentuknya tidak cukup ditentukan skala ekonomi lahan dan jaringan infrastruktur.

Dalam rangka peningkatan kepadatan, belakangan kota Jakarta membangun apartemen-apartemen jangkung dengan fasilitas bersama. Dari pembangunan vertikal didapat ruang terbuka di kaki apartemen. Bagaimana ruang berharga ini digunakan? untuk kepentingan sosialkah? Sayangnya tidak, karena lahan yang diperoleh lebih sering digunakan untuk sirkulasi dan parkir mobil. Di dalam bangunan, ’ruang publik’ yang terbentuk pada lobby, lift, tangga, dan koridor dikelola oleh manajemen apartemen, sama sekali tidak publik. Sudah dipahami secara umum, ruang-ruang tersebut adalah sekat bagi segregasi sosial. Padahal, awalnya ruang publik adalah modal sosial, medium bagi interaksi sosial, bagi kontrol sosial, dan bagi aksi kolektif seperti gotong-royong.

Alih-alih meningkatkan kepadatan, apartemen jangkung membunuh unit-unit sosial tradisional (tetangga, dusun, dan kampung) serta menciptakan ketergantungan kepada korporasi. Mungkin pemerintah ingin meniru Singapura yang penduduknya mau (atau dipaksa agar mau?) tinggal di boks-boks beton yang diperbaharui setiap 10 tahun, sehingga harus beradaptasi dengan lingkungan baru, tetangga baru, setiap 10 tahun. Di lingkungan semacam ini tidak ada tempat bagi masyarakat, yang ada hanya massa; hanya baik untuk politisi dan industri konstruksi, tetapi tidak baik untuk masyarakat secara keseluruhan, tidak baik untuk keberlanjutan maupun demokrasi.

Apartemen jangkung juga mengisolasi anak-anak dan kaum lanjut-usia dari ruang terbuka dan dari alam; dari tanah. Hunian bertingkat tinggi dengan lift membatasi aktivitas anak saat tumbuh kembang, bukankah ini kejahatan terhadap kemanusiaan? Di lain hal, pada banyak kasus tidak tersedia cukup sumber-daya untuk merawat lift dan fasilitas umum lainnya, terlebih bila hunian ini ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Mekanisasi bangunan dengan sistim lift, pompa air, atau sampah domestik memang memerlukan energi dan biaya yang tidak murah.

Urbanisme modern ada yang bertentangan dengan hakikat kota: untuk interaksi manusia. Garden city mengajarkan individualitas; akuisisi ruang urban menjadi ruang pribadi, halaman rumah dan rumah yang besar. Memang demikian ini yang disukai oleh industri pengembang dan spekulator. Modernitas semu memandang hunian dan kota sebagai sistim monolit mekanistik dan menempatkan manusia sebagai bagian darinya—tidak lagi subjek. Maka mobil dan lift mengubah hunian dan wajah kota-kota seluruh dunia. Mampukah kita mengambil pelajaran dari masyarakat lain? Urbanisme macam apa yang harus kita ikuti?

Mari kita lihat rajutan kota yang telah berumur ratusan tahun, yang tumbuh secara alami dan organik, misalnya yang ada di kota-kota tradisional Eropa. Di sana ada kepadatan yang manusiawi. Hunian multi-keluarga 4 lantai sesuai dengan jangkauan mobilitas manusia yang alami. Skalanya sesuai dengan unit sosial pertetanggaan, 6-10 unit dalam satu bangunan, kadang dengan toko di lantai dasar. Tanpa lift, sehingga tidak memerlukan listrik hanya untuk naik-turun. Kota-kota ini menjadi tempat yang manusiawi dan produktif.

Lihat juga kampung-kampung di Jakarta seperti Galur, Prumpung, dan Pademangan yang juga tumbuh secara alami dan organik. Ia memiliki ciri kepadatan tinggi, ramah-pejalan, berperuntukan-campur (mixed-use), ada interaksi sosial tinggi, dan efisien dalam penggunaan sumber-daya kota, sesuai dengan nilai-nilai yang dimajukan oleh konsep tata kota mtakhir. Kita perlu belajar hidup meng-kota pada kampung-kampung ini.

Benar, bahwa ada lingkungan kampung miskin tidak sehat dan rawan penyakit sehingga perlu kesempatan bagi kota untuk meletakkan prasarana, meletakan jaringan air bersih, instalasi listrik yang aman, dan saluran pembuangan. Untuk itu, adakah jalan lain tanpa menggusur kampung sekaligus menghancurkan nilai-nilai tadi, yang susah payah dibangun di tempat-tempat lain?

Mewujudkan hunian multi-keluarga 4 lantai sebagai voluntary densification, pemadatan atas prakarsa warga, memberi arti lain, selain meraih kepadatan. Kepemilikan bersama atas satu unit bangunan, kondominium, berarti memperkuat keamanan tinggal (tenure security) sehingga lebih tahan terhadap penggusuran. Sebagai kompensasi ruang, akan diperoleh ruang-ruang terbuka yang benar-benar publik, yang hijau, yang dimanfaatkan dan dikelola bersama oleh warga.

Sejak awal, rumah-rumah yang baik dan berkelanjutan dibangun sendiri oleh penghuninya, bukan oleh pengembang apalagi negara. Sudah waktunya membuat preseden baru, hunian yang meng-kota, 4 lantai multi-keluarga, untuk kemandirian dan keberlanjutan, untuk wujud ’urbanisme Indonesia abad-21.

. . .

Sila bergabung dengan cause di facebook: 4 lantai untuk hunian kota.

Baca lebih jauh tentang prakarsa hunian kolektif di workshop CoHousing

3 thoughts on “Hunian 4 Lantai Lebih Berkelanjutan

  1. Pingback: Density: Myth and Reality « Rujak

  2. aprilian says:

    Jakarta saat ini sudah dipenuhi oleh banyak orang. Banyak yang orang yang datang dari daerah lain, membuat masalah tersendiri. Baik untuk pemukiman dan lain-lain. Masalahnya sekarang, pemerintah tidak serius mengurusi masalah ini. Selain itu, Tata Ruang Kota sepertinya sudah hancur berantakan, tidak ada pengawasan dari petugas untuk orang-orang yang sembarang mendirikan bangunan. Hasilnya, Jakarta seperti Kampung Besar.

  3. Andrea Fitrianto says:

    Memang pemerintah kita memiliki banyak keterbatasan, tapi juga ada perbaikan, misalnya dalam hal penyediaan informasi tentang tata kota. mudah-mudahan transparansi dapat memperkuat penegakan aturan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *