Ketersediaan pemukiman terjangkau menjadi masalah yang tidak kunjung selesai. Sejak masa kolonial perhatian telah diberikan pada isu perumahan dengan tujuan memperbaiki standar kehidupan permukiman di Indonesia. Sejarah pun turut menyaksikan, belum ada perubahan berarti yang betul-betul berdampak dan mekanisme yang bisa diterapkan secara nasional. Kondisi ini disinyalir karena adanya perbedaan pandangan tentang peran setiap aktor yang terlibat. Pemerintah berusaha membuat program yang mengakomodir kebutuhan hunian masyarakat, namun keberagaman kelas sosial dan daya beli masyarakat berakibat tidak semua dapat difasilitasi dalam sistem. Disisi lain, perumahan swadaya yang mengandalkan komunitas tetap menjadi pilihan utama bagi masyarakat yang belum tersentuh sistem.
Pada 15 Januari 2020, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melangsungkan lokakarya bersama dengan mengundang The Community Organizations Development Institute (CODI) dari Thailand. CODI merupakan lembaga pemerintah yang berfokus pada penataan permukiman kumuh berbasis masyarakat di Thailand selama 20 tahun terakhir.
Moderasi dipimpin oleh Dian Tri Irawaty (kandidat Ph.D UCLA) sekaligus menyampaikan signifikansi Kampung Kota serta sepak terjang advokasi yang dilakukan kelompok masyarakat dan pemerintah daerah dalam beberapa tahun terakhir.
Suharti, Ph.D, Deputi Gubernur Bidang Pengendalian Penduduk dan Permukiman membuka lokakarya dengan memberi konteks pada isu permukiman di Jakarta. Suharti menyajikan data-data memprihatinkan yang menjadi dasar urgensi dibentuknya BLUD atau sebuah kelembagaan khusus yang fokus pada isu permukiman. Aspek tersebut diantaranya adalah tren penurunan pemilik hunian dan peningkatan jumlah pengontrak serta kualitas hunian yang menurun sehingga memperbesar spektrum kekumuhan di Jakarta. Proyeksi pertumbuhan penduduk di masa mendatang juga menuntut untuk diadakannya mekanisme penyediaan perumahan yang lebih cost-effective dan akomodatif dibandingkan program rumah susun yang menjadi andalan pemerintah saat ini. Disisi lain, pemerintah provinsi DKI Jakarta juga sudah memulai perubahan paradigma, bahwa posisi pemerintah bukan sebagai penyedia utama, melainkan sebagai fasilitator masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan huniannya sendiri. Selaras dengan proporsi pemenuhan hunian di Jakarta yang sebagian besar dibangun secara swadaya (tidak mengandalkan program pemerintah atau developer). Sebagai langkah konkret, pemerintah provinsi DKI Jakarta bekerjasama dengan organisasi masyarakat, NGO, akademisi, dan lain-lain dalam program Community Action Plan, serta dibentuknya Gugus Tugas Reforma Agraria untuk mengatasi masalah terkait sengketa lahan.
Diskusi dilanjutkan oleh Samsook Boonyabancha (mantan direktur CODI Thailand & Sekjen ACHR). Dalam paparannya, Samsook menegaskan bahwa masyarakat perlu menjadi aktor utama dari solusi masalah permukimannya. Pemerintah perlu beranjak dari “penyedia” solusi dalam rupa program, menjadi fasilitator dan bekerja sama langsung dengan kelompok masyarakat.
Samsook juga menantang persepsi “kumuh”, bahwa kumuh tidak hanya persoalan fisik, melainkan juga persoalan multi-layer ; ekonomi, legalitas lahan, politik, dan lain-lain. Seringkali yang menjadi muara dari persoalan di masyarakat adalah ketidaktahuan informasi dan tidak memiliki sumberdaya untuk mengatasi persoalannya. Sehingga upaya memberdayakan masyarakat untuk menuntaskan masalah kekumuhan, seharusnya dimulai dari menyediakan kesempatan berkembang yang menyasar aspek multi-layer tersebut dengan mekanisme yang fleksibel dan dapat diakses kelompok masyarakat dengan mudah.
CODI membuat inovasi dalam posisinya di struktur pemerintah, antara lain sebagai lembaga dibawah Kementerian Pembangunan dan Perlindungan Sosial Thailand, sekaligus lembaga publik yang bekerjasama dengan kelompok masyarakat, NGO, akademisi dan lain-lain. Posisi tersebut juga memungkinkan CODI mengakses dana dari pemerintah sekaligus memfasilitasi dana bergulir (revolving fund) untuk dipinjamkan pada kelompok masyarakat. Posisi ini menjadikan CODI institusi strategis yang menghubungkan kelompok masyarakat dengan mekanisme pendanaan yang sesuai dengan kemampuan masyarakat, namun tetap akuntabel di sistem pemerintah.
CODI sebagai lembaga memiliki keleluasaan yang besar untuk mengatur kerjasama antar lembaga. Dalam hal finance, CODI juga bekerjasama dengan bank untuk memberikan pinjaman sebagai modal perumahan pada kelompok masyarakat. Project-project komunitas yang dilakukan CODI membuktikan bahwa angsuran membangun rumah secara kolektif lebih murah dibanding membayar sewa rumah. Sehingga manfaat yang didapat dari mekanisme perumahan kolektif ala CODI ini melebar ke aspek non-hunian juga dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat perlu menyadari bahwa solusi masalah perumahan memungkinkan dan terbuka untuk mereka. Menurut Samsook, salah satu tools yang dapat digunakan adalah meningkatkan kapasitas masyarakat merencanakan finance. Tujuannya agar masyarakat terbayang dan tergerak bahwa modal tersedia dan memungkinkan untuk diakses. Samsook menegaskan bahwa pinjaman bagi kelompok masyarakat miskin sama seperti pinjaman untuk masyarakat kelas atas, akan dikembalikan juga (repayment rate CODI 97%), namun pinjaman ini berdampak besar bagi kelompok masyarakat secara kolektif untuk mereka merencanakan perubahan wilayahnya.
Untuk diaplikasikan di Indonesia, lembaga sejenis CODI perlu disesuaikan dengan konteks lokal. Namun esensi kerja CODI sebagai lembaga, untuk membuat masyarakat berdaya dan memecahkan masalah permukimannya sendiri merupakan hal baru yang perlu digagas di Indonesia. Pemerintah lagi-lagi harus melihat dirinya bukan sebagai penyedia utama, dan mulai memberi kepercayaan dan kesempatan untuk kelompok masyarakat menjadi bagian dari perubahan. Mekanisme yang sebenarnya sudah berusaha dimulai di beberapa tempat, namun luput dari atensi pemerintah untuk dilembagakan.
Saya tertarik untuk mengikuti seminar2 nya bgm cara nya? Apa ada biayanya?
Halo! Silahkan nantikan kegiatan publik RCUS di kanal sosial media instagram @rujakrcus ya! Event publik RCUS ada yang berbayar dan gratis. Silahkan dinantikan