(Seperti tertulis untuk Opini Sindo Weekly 20 Januari 2013) Saat banjir melanda Jakarta, bermunculan anjuran dan ajakan untuk tidak membuang sampah sembarang, membuang lubang biopori, menanam tanaman dan lain-lain. Namun banjir yang kerap melanda Jakarta tidak serta merta membuat kebanyakan melakukan hal-hal diatas. Lupa, tak hanya melanda warga. Pengambil keputusan pun demikian. Kementerian Pekerjaan Umum menyatakan butuh 10.5 triliun untuk mengatasi banjir mencakup upaya normalisasi, penambahan kapasitas kanal dan membuat pintu air. Kebijakan yang terus berlanjut adalah membuat infrastruktur berupa kanal dan meninggikan dinding kanal. Bahkan seakan-akan lupa, Kementerian Pekerjaan Umum kembali melirik proyek yang sebetulnya sudah mentah-mentah ditolak oleh semua pihak, yaitu pembangunan Multi Purpose Deep Tunnel, kembali masuk ke dalam pertimbangan kementerian dan gubernur.
Banyak peristiwa sejak tahun 1883 menunjukkan bahwa setiap kanal atau saluran tertentu selesai dibangun, maka dalam hitungan beberapa tahun akan terjadi banjir lagi. Setidaknya tercatat dalam buku Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa (1883-1985) oleh Restu Gunawan. Bahkan dalam cover buku tersebut sudah menyatakan demikian: Sistem kanal tidak berhasil karena topografi Jakarta yang datar sehingga air tidak bisa mengalir secara gravitasi. Sedimentasi lumpur dan sampah juga menyebabkan aliran air tidak lancar. Pengendalian banjir dengan pembangunan kanal atau saluran hanya mampu mengurangi beban banjir sesaat. Restu Gunawan adalah seorang sejarawan.
Kita memperlakukan banjir seperti seakan-akan lupa bahwa sungai-sungai merupakan satu rangkaian besar ekosistem: Daerah Aliran Sungai. Apa yang dilakukan hanya berpusat pada di hilir saja dan itupun terbatas pada sistem pengairan menuju ke laut, seperti seakan-akan lupa bahwa 30% daratan Jakarta Utara sudah berada dibawah permukaan air laut. Bahkan pintu air di dekat Pasar Ikan dan Museum Bahari sudah tidak pernah dibuka lagi, karena air laut selalu lebih tinggi dari air daratan.
Lalu ironisnya, pada saat musim kemarau, Jakarta lupa untuk menyimpan air di dalam tanah dan telah habis mengeringkan air di sepanjang sistem drainase serta membuangnya ke laut. Seakan lupa bahwa air hujan adalah berkah di musim kemarau. Lupa bahwa 13 sungai sebagai bagian dari Daerah Aliran Sungai berarti alpa untuk mengatasi masalah di hulu. Termasuk diantaranya lupa bahwa sedimen lumpur sama bahayanya dengan sampah yang dibuang ke sungai. Debit dan kecepatan aliran sungai hanya bisa diperlambat dengan alami di daerah hulu dengan memastikan ruang-ruang untuk meresap atau waduk dan situ sebagai tampungan. Pintu-pintu air hanya menahan aliran air sementara; dan jika lupa merawat dinding kanal maka jebollah kanal itu seperti yang terjadi di Latuharhari tanggal 17 Januari silam.
Pemerintah sepertinya telah melakukan segalanya dari segi infrastruktur, tetapi mereka lupa atau minim melakukan dua hal sebagai berikut, pertama konservasi dengan pendekatan ekologi dan kedua penataan ruang. Pendekatan infrastruktur telah terbukti tidak cukup, sejarah membuktikan. Betapa raksasanya saluran dibuat, jika air yang mengalir kedalamnya tidak berkurang, maka saluran tersebut akan penuh lagi dan akhirnya meluap. Air hulu harus dikendalikan dan diresapkan sebanyak mungkin. Air permukaan di kawasan perkotaan harus dikurangi dan diresapkan sebanyak mungkin.
Pendekatan konservasi sebetulnya sudah sempat dalam rupa Peraturan Gubernur oleh Gubernur Sutiyoso di tahun 2005, bahwa setiap penerbitan IMB wajib disertai pembangunan sumur resapan. Entah sudah berapa ratusan atau ribuan IMB dikeluarkan, namun berapakah yang sudah membuat sumur resapan? Sesungguhnya Gubernur Joko Widodo pun sepertinya menyadari pentingnya Daerah Aliran Sungai. Dalam bulan pertamanya memimpin Jakarta, beliau bertemu dengan Gubernur Jawa Barat dan salah satunya mendiskusikan soal air dan banjir Jakarta. Semoga beliau tidak melupakan akan pentingnya membangun waduk-waduk resapan di hulu dan menjaga kehijauan ruang-ruang di daerah hulu.
Perubahan tata ruang dari masa ke masa seakan mengabaikan sejarah daerah tersebut. Alokasi Ruang Terbuka Hijau di Jakarta menurut Rencana Tata Ruang 1965-1985 adalah 37,2% atau sekitar 241.8 km2. Lalu pelan-pelan tapi pasti RTH tersebut digerogoti, dimulai dari pembangunan hotel di Senayan pada tahun 1971, dan meninggalkan Jakarta di tahun 1984 dengan persentase RTH menjadi 28,8%. Lalu di era 1985-2005 terjadi konversi RTH besar-besaran, meliputi Hutan Bakau Kapuk menjadi perumahan dan lahan-lahan RTH Senayan milik Pemerintah Pusat, menjadi pusat perbelanjaan, kantor dan hotel. Di akhir tahun 1999, sisa RTH Jakarta tinggal 9.6 %, yang akhirnya seakan diputihkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah 2000-2010.
Konversi tak hanya dilakukan swasta dan Pemerinta Pusat saja, Pemerintah Provinsi pun mengkonversi RTH di Jakarta Selatan menjadi Kantor Walikota Jakarta Selatan. Terkait dengan penataan ruang di perkotaan Jakarta, kita bisa saja menerapkan kebijakan radikal yang menuntut gedung-gedung yang berdiri di lahan-lahan RTH milik pemerintah pusat untuk kembali ke fungsi asalnya. Namun itu memerlukan waktu dan litigasi berlarut-larut. Yang bisa dilakukan sekarang terkait penataan ruang secara minimal adalah memaksimalkan ruang terbuka hijau yang ada, meniadakan konversi ruang terbuka hijau, memastikan seluruh pihak bahwa ruang terbuka hijaunya benar-benar berfungsi. Adalah percuma jika suatu pusat perbelanjaan dengan taman besar namun dibawahnya ternyata basement parkir dan tanpa sumur resapan.
Pendekatan konservasi dan penataan ruang tidak berarti mengecilkan peran infrastruktur. Namun jika ketiganya bersinergi, maka akan menjadi kekuatan untuk mengendalikan banjir termasuk mengatasi kekeringan di musim kemarau. Demi melawan banjir kita harus melawan lupa dahulu. Karena manusia mungkin lupa, tapi air tidak pernah alpa untuk terus mengalir. Jangan sampai lupa untuk mengembalikan air ke tempatnya yang lain yaitu ke dalam tanah.
iki maksude opo yo mba?
“..Perubahan tata ruang dari masa ke masa seakan mengabaikan sejarah daerah tersebut. Alokasi Ruang Terbuka Hijau di Jakarta menurut Rencana Tata Ruang 1965-1985 adalah 37,2 km2 atau sekitar 241.8 km2..”
agak membingungkan antara 37,2 km2 dengan 241,8km2. Jadi yang bener yang mana angkanya? yang pertama atau yang kedua, karena keduanya KM2 tapi nominalnya beda jauh. Mohon klarifikasinya.
Maaf, harusnya 37.2%
suwun mba’e nanti saya kutip ya di blog..he..he..he..lagi mau nulis tentang LULUCF di Jakarta. Kalau ada data mentahnya atau analisis yang fokus di RTH Jakarta boleh juga tuh di upload di rujak.org
Pingback: Hak atas Permukiman Layak dan Nasib Warga Miskin Pasca Banjir « Rujak
Pingback: Kemana air pergi? Pertanyaan ini tak pernah ditanyakan saat banjir.