Sejak awal berdirinya LBH Jakarta pada 1971, Adnan Buyung dkk telah memiliki pemahaman bahwa ada kedudukan yang tidak
setara antara masyarakat miskin dan kaya dalam penikmatan hukum. Para pengacara perlahan tidak hanya melakukan pembelaan di pengadilan, namun mulai melakukan pemberdayaan di basis-basis kelompok miskin kota dan buruh. Persentuhan LBH dengan teori strukturalisme (salah satu yang paling sering dikutip adalah Johan Galtung) dan sumbangsih pemikir ilmu sosial yang dekat dengan LBH seperti Paul Moedikdo, Daniel. S Lev dan Indonesianis lainnya pada dekade 70an membuat LBH merefleksikan kembali platform bantuan hukum yang diberikan.
Bantuan Hukum Struktural (BHS) dirumuskan sebagai alternatif bantuan hukum konvensional. BHS merupakan bantuan hukum yang berorientasi kepada perubahan struktur, substansi, dan kultur hukum serta sosial politik yang tidak adil menjadi lebih adil. Buyung menyatakan bahwa BHS merupakan serangkaian aksi kultural dan aksi struktural untuk tujuan pembebasan masyarakat dari belenggu ekonomi, sosial dan politik yang sarat penindasan.
Semakin kemari, tantangan yang dihadapi LBH Jakarta pun bertambah. Dan negara yang seharusnya menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia malah makin jauh meninggalkan kewajibannya tersebut. Penggusuran hingga kriminalisasi, dan tak jarang lenyapnya nyawa, juga tereskalasi seiring dengan upaya negara untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.
Untuk itu, LBH Jakarta melakukan refleksi dan studi terhadap tantangan masa kini dan berkaca pada 4 kasus yang dianggap memiliki keberhasilan. DIseminasi hasil studi akan dilengkapi dengan diskusi publik yang akan berlangsung pada Senin, 9 Desember 2019, jam 12.00 – 16.00 di Kedai Tempo, Matraman, Jakarta Pusat.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai acara, silakan hubungi: Annisa (08788444 6640).
Pingback: Hak atas Kota? - Rujak