Sejak Rujak Center for Urban Studies memberlakukan Work From Home pada 14 Maret 2020, hidup kami dan tentunya Anda yang hidup di kota, terutama Jakarta, berubah drastis. Pandemik Covid19 tidak hanya menjadi ancaman bagi kehidupan manusia, tapi juga menjungkirbalikkan hidup banyak orang yang tinggal di epicentrum seperti Jabodetabek. Semua terjadi sekejap dan semalam tanpa proses adaptasi. BNPB menyatakan bahwa pandemik COVID19 adalah bencana nonalam. Berbeda dengan bencana seperti gempa bumi, banjir, dan sebagainya, seringnya ia datang dalam sekali kejadian. Namun pandemik COVID19 ini bak bencana yang tak selesai, beruntun berurutan dan kita tidak bisa tahu persis kapan bencana tersebut berakhir. Dan yang. bisa mengakhirinya bukannya alam, melainkan kebijakan, piihan dan tindakan manusia.
Proses perubahan drastis tersebut ternyata tidak merata dan ada kesenjangan dimana-mana. Proses belajar dan sekolah di rumah akan mudah bagi pelajar yang sudah terbiasa dengan gadget dan berlangganan jaringan internet berkualitas, namun tidak bagi pelajar yang tidak memiliki perangkat memadai dan harus bergantung dari paket data jasa telokomunikasi. Work from home bisa dengan mudah terjadi bagi buruh kerah putih tertentu, namun sulit terjadi bagi buruh pabrik. Digital divide yang terkadang mengawang-awang, mendadak terpampang dengan jelas dan terjadi secara simultan dan terakumulasi. Dalam survei oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang dirilis 2019, hanya 14% rumah di Indonesia yang memiliki jaringan internet dan 79.5% tidak berlangganan.
Sayapun mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan perubahan kilat semalam tersebut. Pekerjaan sehari-hari kami menuntut banyak pertemuan dengan berbgai pihak, mulai dari masyarakat, sesama organisasi masyarakat sipil, pihak swasta, seniman dan pemerintah. Sebagai think-act tank, relasi sosial dan pertemuan langsung terutama dengan masyarakat terdampak adalah kunci kerja kami.
Awal minggu pertama bekerja dari rumah, saya disibukkan dengan penyesuaian, perubahan berbagai kegiatan, memberitahukan berbagai mitra serta berusaha mencerna apa yang terjadi sambil mengejar perkembangan yang cepat terjadi bahkan dalam hitungan jam. Saya butuh 3-4 hari untuk menerima kenyataan bahwa hidup sehari-hari saya berubah total tanpa tahu apakah saya bisa kembali pada rutinitas sebelum Gubernur DKI Jakarta mengumumkan anjuran kerja dari rumah pada 13 Maret. Pada akhirnya kami harus bergerak maju dan melakukan apa yang menjadi kelebihan kami selama ini, ko-produksi pengetahuan dan bersama-sama masyarakat mendorong perubahan.
Bagaimana caranya?
Dibandingkan era sebelum pandemik Covid19, kami berkomitmen untuk lebih banyak memproduksi pengetahuan yang berasal dari data, analisa dan pengalaman kami berinteraksi dengan segala dampak pandemik. Kami pun berusaha memadukan pengetahuan yang kami punya dengan kondisi saat ini, misalnya dalam penampilan data usia lanjut dan covid19. Dari proses ko-produksi pengetahuan yang terjadi secara dinamis, hasilnya kami gunakan untuk memproduksi rekomendasi dan usulan, seperti contoh rekomendasi terkait hunian layak dan perlunya karantina massal di kawasan kota.
Pengetahuan adalah alat penting dalam membaca perubahan maupun membayangkan apa yang mungkin terjadi di depan, terutama di kota. Sekaligus menjadi alat pemantik untuk membayangkan sesuatu yang lain. Kami dengan sengaja menyisipkan isu yang tak ada hubungannya dengan Covid19, namun kami harap kisah seperti pengelolaan lahan berbasis komunitas di Amerika dan Inggris mampu menjadi refleksi saat kita dipaksa melakukan jaga jarak fisik. Apakah perubahan drastis yang sedang terjadi juga menyerupai ketercerabutan pasca penggusuran paksa? Mungkin tulisan ini bisa menjadi refleksi.
Sementara ini menjadi catatan harian, mencatat pembelajaran kami atas perubahan yang demikian cepat terjadi. Pada kota dan masyarakatnya, juga pada relasi. Sesudah ini selesai, kota kita pasti akan berubah. Dan pengetahuan hendaknya menjadi bagian pondasi perubahan tersebut.
Sumber foto: Rizki Fitrianto.
Bagus refleksinya, terimakasih. Ya, kupikir memang demikian, bahwa kota-kita nantinya harus manusiawi, dalam arti bagus untuk kesehatan dan kualitas hidup manusia secara inklusif. Salah satu wujudnya, adalah kota-kota dgn transportasi yang ramah lingkungan, bisa mengadopsi / mencontoh bbrp urban linear Kota Seoul, kota pejalankaki. Hunian-hunian berupa perumahan publik dan pertanian perkotaan di sekitarnya yang bisa dikelola oleh kelompok2 komunitas. Jadi, ruang-ruang publik menjadi wadah bagi kegiatan2 komunitas, termasuk juga untuk memasarkan hasil2 pertanian dari desa2 sekitar kota, ini juga ada contohnya, Deoksugung-gil di Seoul.