Pontianak Kota Parit

photo-2
Ilustrasi oleh Zul MS

 

Kota Pontianak dengan lokasi yang berada di delta berawa-rawa, diapit dua sungai besar (Kapuas dan Landak) serta memiliki ketinggian hanya sekitar 0,8 – 1,5 meter di atas permukaan laut, Pontianak pada dasarnya merupakan kota yang selalu ‘basah’. Artinya, sejak awal mula berdirinya kota ini, masyarakat yang membangun kota ini sebenarnya telah berupaya belajar untuk dapat beradaptasi dengan kondisi alam yang khas tersebut, misalnya bagaimana cara mengeringkan rawa, bagaimana cara hidup di tepi air yang dipengaruhi pasang surut laut dan banjir musiman, bagaimana memanfaatkan sungai dan parit untuk transportasi, untuk berekonomi, untuk berkegiatan sosial dan untuk berbudaya.

Selain dicirikan oleh persimpangan dua sungai besar, Pontianak juga memiliki ciri khas dengan banyaknya parit-parit lebar di seluruh penjuru kota, yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam buku “Borneo Westerafdeeling Geographisch, Statistisch, Historisch” yang ditulis sejarawan Belanda PJ. Veth tahun 1854, dikatakan bahwa parit-parit yang ada di Kota Pontianak sengaja dibangun oleh Belanda untuk tiga kepentingan sekaligus yaitu sebagai benteng pertahanan, sebagai sarana transportasi dan sebagai drainase (untuk mengeringkan tanah rawa).

Di daerah Pontianak Barat yang dikuasai Belanda, mereka ingin menjadikan kawasan tersebut sebagai Little Nederland, yang dilengkapi dengan parit sebagai batas pelindung. Dahulu, parit-parit ini juga berfungsi sebagai kanal (gracht) yang merupakan pelebaran anak anak sungai alam yang kemudian diperlebar hingga bisa dilalui sampan-sampan berukuran besar.

Menurut data saat ini, Kota Pontianak mempunyai sungai-sungai dan parit yang berjumlah 42 sungai/parit. Menurut SK Walikota Pontianak nomor 34 tahun 2004, parit di Kota Pontianak dikategorikan menjadi tiga bagian, yakni parit primer, sekunder dan tersier. Secara keseluruhan, panjang parit primer yakni 187.474 meter, sekunder 102.045 meter dan tersier 97.700 meter. Dengan angka-angka demikian, mungkin tidak banyak kota di Indonesia yang memiliki parit-parit sepanjang itu.

Di antara sekian banyak parit-parit berukuran besar, tinggal parit Sungai Jawi saja yang masih menampakkan sisa-sisa kejayaannya. Adapun parit-parit lainnya terancam punah. Parit Jl. Diponegoro misalnya, meskipun sudah ditata rapi di kiri kanannya, namun lebar paritnya jauh mengecil dari asalnya, dikarenakan kepentingan pelebaran jalan dan parkir kendaraan. Parit Jl. Gajah Mada lebih memprihatinkan lagi.

Parit yang dulunya begitu lebar boleh dikatakan sudah 100% tertutup untuk dijadikan lahan parkir. Tidak banyak lagi generasi muda yang tahu bahwa dulu di sepanjang Jl. Gajah Mada terdapat parit besar yang bisa dilalui sampan. Begitu juga dengan nasib parit-parit lainnya yang semakin lama semakin terabaikan, dengan cara ditutup atau bahkan ditimbun untuk kepentingan pelebaran jalan dan lahan parkir.

Sejauh ini, upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah pembenahan dengan cara membangun turap dan mengeruk beberapa parit primer maupun sekunder sebagai upaya memperindah kota sekaligus pencegahan banjir. Itupun masih sangat terbatas, sehingga banjir dan genangan masih terus terjadi dari tahun ke tahun.

Perilaku Warga kota juga turut mempercepat kepunahan parit, karena warga menjadikan parit sebagai tempat pembuangan sampah, juga mendirikan bangunan di atas parit, atau menimbun parit untuk perluasan halaman. Pengetahuan dan kearifan terhadap kondisi alam kota Pontianak yang bercirikan lahan basah yang telah dibangun selama ratusan tahun, kini semakin menghilang dan terlupakan.

Parit di Kota Pontianak pernah menjadi bagian urat nadi kehidupan warga Kota Pontian dari mulai sebagai alat transportasi, mandi,ruang publik bermain warga. Tentunya warga Kota Pontianak pernah punya pengalaman pengetahuan dalam merawat paritnya sebagai urat nadi kehidupan warganya. Pengetahuan warga sangat penting untuk mengembalikan parit-parit di Kota Pontianak sebagai salah satu identitas kota sebagai Kota Parit.
(Ditulis oleh rekan-rekan dari LPS-AIR)

*Melalui kegiatan Urbanisme Warga, LPS-AIR bersama warga dan berbagai mitra yang terlibat akan menyoal keberadaan parit di Pontianak. Kegiatan ini dimulai dengan mengangkat narasi tentang parit yang digali dari pengetahuan warga, untuk kemudian diangkat menjadi isu kota hingga advokasi kebijakan.

One thought on “Pontianak Kota Parit

  1. ahmad s dz says:

    PARIT DAN PERKEBUNAN
    Permukaan tanah yang relatif landai, pola aliran yang tidak teratur dan hutan yang masih lebat memberikan kecenderungan masyarakat untuk memaanfaatkan sungai sebagai sarana transportasi (hasanudin dkk, 2000,28) Sungai Kapuas dan Sungai Landak menjadi main road/jalan utama yang menghubungkan dengan wilayah Pontianak dan daerah hinterland/ ke hilir sungai. Juga daerah lain di sekitar Pontianak.
    Sungai dan alur perairan menjadi sirkulasi terpenting. Sebagai lalu lintas komoditi. Untuk menghubungkan kebun-kebun dengan pelabuhan (kota) Pontianak kemudian di buatlah sejumlah parit. Parit menjadi salah satu sarana penting bagi pemilik perkebunan untuk membawa komoditi panen. Hasil panen dibawa dari kebun-kebun menyusuri parit yang mengelilingi kebun menuju tempat pengumpulan. Kemudian (dengan menggunakan perahu panjang) dibawa menuju pelabuhan/ ke Pontianak.
    Selain itu juga keberadaan parit di perkebunan untuk menghindarkan banjir di perkebunan karena air pasang serta membuat tanah di sekitar parit menjadi lebih tinggi karena ditimbun dengan tanah dari galian tersebut. Penggalian parit membagi tanah datar menjadi beberapa petak. Panjang parit dapat mencapai 20 km. Parit bahkan dapat ditemui setiap 3-4 km dari luasan kebun kelapa (Enthoven, 1903 : 813-814).
    Di setiap perkebunan (onderneming) baik itu di perkebunan kelapa, karet bahkan tebu. Dipastikan juga dibuat sistem parit yang mengelilingi dan menghubungkan daerah ini ke daerah lainnya. Di areal kebun karet sisi utara sungai Kapuas kecil misalnya, dari Kampong Saigon hingga Telok Kumpai sepanjang 18 km terdapat parit yang dikeduk dengan lebar 3m dan dalamnya 200 depa
    Di Kampung Baru (Siantan) untuk mengeringkan kebunnya maka orang-orang (Tionghoa) juga membuat sebuah parit Kongsi pada akhir abad ke 19 (enthoven,1903; 826).
    Begitu penting dan strategisnya keberadaaan dan fungsi parit ini, hingga tidak saja menjadi perhatian dan tanggung jawab pemilik perkebunan namun juga bagi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sebagai prasarana lalu lintas utama bagi penduduk. Membuka hubungan antar daerah dan juga jaringan untuk lalu lintas distribusi komoditas pertanian, perkebunan dan lainnya.
    Salah satunya pada tahun 1930 Asissten Residen Pontianak membangun parit dari Sungai Raya13 (catatan: liat feature Sungai Raja menjadi Sungai Raya) menuju ke daerah Punggur sepanjang 25,7 km. Sebelumnya Parit ini sudah ada, yang dikeduk secara swadaya oleh penduduk setempat. Kemudian parit yang sudah ada tersebut diperbesar-perbaiki lagi dengan membuat barau-barau14 . Biaya yang dikeluarkan bersumber dari kas Landschap Pontianak (Binnenlandsch Bestuur 1233, R 52/12.31). Menghabiskan dana 14.026 gulden. Bagi keperluan biaya untuk saluran pembuangan air, survey, serta pembelian alat serta upah kuli.
    Perluasan perkebunan, membuat wilayah ‘negeri’ Pontianak seolah dikelilingi oleh perkebunan (onderneming) kelapa dan karet. Keberadaan perkebunan-perkebunan inilah yang juga berdampak besar pada keberadan parit. Hingga membentuk satu kesatuan utuh. Baik yang ada di tanah seribu terhadap wilayah-wilayah lain di sekitarnya. ……. (Bagian Tiga Parit dan Perdagangan, dalam Historiografi Parit di Pontianak, Ahmad dZ, 2015)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *