Dalam pidato yang disampaikan oleh Leilani Farha dari United Nations Special Rapporteur on the right to housing yang menjadi pembuka buku ini dikatakan bahwa “hak untuk hidup tidak dapat dipisahkan dari hak atas tempat yang aman untuk hidup; dan hak atas tempat yang aman untuk hidup hanya bermakna jika ada dalam konteks hak untuk hidup bermartabat dan aman, serta bebas dari kekerasan” dengan kesimpulan yang dapat diambil bahwa “Hak untuk hidup dan hak atas perumahan saling berhubungan dan tak terpisahkan.” (Hlm:24)
Dari kalimat tersebut jelas, Leilani menyatakan bahwa perumahan merupakan hak bagi setiap manusia, bagi setiap masyarakat, bagi siapa saja yang ‘hidup.’ Di Indonesia sendiri, kebutuhan akan perumahan belum dilihat sebagai hak asasi manusia melain sebagai komoditas. Perspektif demikian telah melahirkan permasalahan finansialisasi perumahan yang dapat berakibat pada monopoli penyediaan perumahan.
Finansialisasi perumahan menjadi salah satu dari sekian masalah yang diangkat dalam rangkuman diskusi yang dimuat dalam buku ini. Berdasarkan Pasal 28 A ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, serta berhak memperoleh pelayanan dasar, oleh karena itu sesuai dengan UUD tersebut maka penyediaan perumahan yang layak menjadi tanggung jawab Negara. (Hlm:63)
Jika kita melihat perumahan hanya sebagai komoditas, properti dan investasi bukan sebagai hak yang harus didapatkan dengan baik dan layak, maka pemenuhan kebutuhan akan perumahan terutama bagi masyarakat informal akan sulit dipenuhi. Masalah akan kebutuhan penyediaan hunian yang layak serta lingkungan yang aman bagi masyarakat (terutama masyarakat informal) seperti tidak menemui titik terang.
Dimuat dalam hasil disksusi ketiga tentang “Mencari Pengadaan Perumahan dengan Prinsip Keadilan” dalam buku ini bahwasannya lemahnya inovasi program pendanaan yang dilakukan oleh pemerintah serta kurangnya regulasi atas penyediaan hunian layak membuat masalah perumahan dan hunian layak tak kunjung selesai. Itulah mengapa pentingnya memandang hunian layak sebagai hak asasi setiap manusia, bukan sebagai komoditas/properti.
Sayangnya berdasarkan apa yang saya tangkap dari hasil empat diskusi dalam buku ini juga dari pidato oleh Leilani Farha yang berjudul Housing, Humanity and Human Rights bahwa HAM tidak pernah dibahas dalam isu perumahan dan penyediaan hunian layak. Pengawasan terkait HAM oleh pemerintah hanya sebatas ‘menentang penggusuran apapun kasusnya’ namun cenderung tidak membahas pola perampasan, pengecualian, dan ketidaksetaraan secara lebih luas, yang semakin lama semakin buruk. (Hlm 28). Finansialisasi perumahan hanya akan menyebabkan ketimpangan antara masyarakat ‘formal’ dan ‘informal’.
Buku ini menjelaskan tentang housing, hak atas hunian layak, hak asasi manusia, bagaimana penyediaan perumahan di Indonesia dengan berbagai permasalahan, tantangan, dan hambatan yang ada, namun uniknya dalam buku ini, pembahasan tersebut dibahas melalui berbagai persepektif, dari berbagai sudut pandang, mulai dari sejarahwan hingga sineas, dan tidak lupa dari sudut pandang masyarakat sebagai aktor utama.
Bukan hanya membahas masalah dan bagaimana seharusnya kita memandang permasalahan ini, gagasan yang dihasilkan dalam setiap diskusi juga menjadi topik menarik. Permasalahan akan perumahan yang mana sebagian besar melibatkan masyarakat ‘informal’ yang dalam hal ini adalah MBR, dimana mereka mayoritas tinggal di lahan yang disebut sebagai ‘kampung’ dengan status informal dimana setiap harinya dihadapkan akan ketakutannya terhadap pembongkaran/ penggusuran.
Kampung kota sebagai bagian dari kota itu sendiri tidak dapat dipisahkan. Mereka merupakan bagian dari kota, mereka nyata dan ada, perlu adanya penataan dan perencanaan terkait kampung kota untuk membantu mengatasi permasalahan penyediaan perumahan pada masyarakat informal. Masyarakat kampung akan ikut berpartisipasi, memberi solusi atas masalah yang mereka hadapi setiap hari, sehingga pemerintah dapat mengambil tindakan yang tepat, yang didasarkan pada hak asasi manusia dan hak atas hunian layak bagi setiap masyarakat. Karena perumahan bukan hanya memiliki fungsi ekonomi namun juga fungsi sosial yang ada di dalamnya.
Rumah seyogyanya memiliki peran lebih dari sekedar peran ekonomi orang yang tinggal di dalamnya. Jauh dari itu, rumah memiliki peran sosial, serta budaya juga hubungan yang erat dengan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, berdasarkan buku ini pada Desember 2018, LBH Jakarta menyatakan solusi rumah susun bagi korban terdampak tidaklah efektif, namun justru menimbulkan masalah lain yang menyangkut hak sosial, ekonomi, dan budaya bagi warga terdampak. Karena kehidupan rumah susun tidak fleksibel seperti kehidupan sebelum kampung-kampung mereka tergusur. (Hlm 10) Hal ini juga menjadi salah satu alasan bahwa ganti rugi penggusuran tidak menyelesaikan masalah.
Setiap pembahasan dari diskusi mengenai housing and human rights, keadilan, kesetaraan, hak-hak masyarakat informal dan kampung kota terasa dekat dan nyata dibahas dalam buku ini. Walaupun dibeberapa bagian akhir diskusi dalam buku ini masih menimbulkan pertanyaan karena belum dibahas dengan menyeluruh seperti dalam diskusi kedua mengenai “Refleksi 20 tahun Perumahan Rakyat Indonesia” belum dijelaskan apakah sudah ada upaya baru pemerintah setelah KIP terkait lembaga khusus penanganan program perumahan.
Secara keseluruhan buku ini dapat menjadi pembuka pengatahuan, narasi pertama, dan refleksi pembahasan mengenai hunian layak di Indonesia kaitannya dengan hak asasi manusia, buku ini dapat membuka mata kita bahwa permasalahan penyediaan hunian layak ada dan nyata, dan penyelesaian akan masalah tersebut menjadi bagian yang harus diperjuangkan dan sebagai masyarakat kota kita harus ikut serta didalamnya.
Penulis: Nika Audina, Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Sumatera.
Buku ini dapat diunduh mlalui tautan berikut klik disini