Covid-19, Ketidaksetaraan dan Warga Miskin Kota Jakarta: Tangguh, tetapi dalam risiko tinggi

Krisis, baik itu keruntuhan ekonomi, bencana alam atau pandemi, memperdalam dan memperbesar kerentanan sosial yang dihasilkan dari ketidaksetaraan. Selain menjadi kelompok yang paling rentan terhadap risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh penyakit coronavirus (Covid-19), orang-orang miskin juga menjadi kelompok yang paling menderita dari langkah-langkah mitigasi yang diperkenalkan untuk mengurangi penyebaran pandemi ini, seperti yang kita lihat dalam krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung yang disebabkan oleh nation-wide lockdown di India.

Sama seperti di Indonesia, dalam menghadapi kelambanan pemerintah dalam menangani penyebaran Covid-19, beban dan risiko yang tidak proporsional diberikan kepada kaum miskin kota yang harus mengandalkan diri mereka sendiri dan satu sama lain untuk bertahan hidup.

Dalam perkembangan Covid-19 pada 27 Maret, Juru bicara coronavirus dari pemerintah pusat Achmad Yurianto berkata bahwa “orang-orang kaya harus melindungi orang-orang miskin agar mereka dapat hidup tanpa kesulitan, sedangkan orang-orang miskin harus melindungi orang-orang kaya dengan tidak menularkan virusnya”. Meskipun kemudian ia mundur setelah kritik yang meluas, ia tetap mengartikulasikan pandangan paternalistik yang telah lama dipegang orang miskin dan komunitas mereka sebagai sumber penyakit, penularan dan ancaman.

Jakarta, rumah bagi seperlima dari populasi perkotaan di Indonesia, telah berkembang sebagai episentrum Covid-19 Indonesia dengan, saat penulisan, 1810 kasus terkonfirmasi dan 156 kematian, dengan total kasus nasional sebanyak 3512 kasus dan 306 kematian. Ada bukti kuat bahwa angka kasus sebenarnya jauh lebih besar dari yang diberitakan.

Berdasarkan analisa spasial dari distribusi kasus di Jakarta yang dilakukan oleh Rujak Centre for Urban Studies, ditemukan bahwa, hingga saat ini, hanya sebagian kecil lingkungan permukiman miskin di Jakarta yang memiliki jumlah infeksi yang tinggi. Berkaca dari kecenderungan kasus yang terlihat di kota-kota seperti Sydney, Melbourne dan Los Angeles, kluster infeksi terbesar terdapat di lingkungan kelas menengah dan lingkungan orang-orang kaya.

Distribusi kasus coronavirus dan pemukiman kumuh di Jakarta (warna hijau). Gambar oleh Rujak.

Kemungkinan tersebut mencerminkan minimnya tingkat pengujian di Indonesia dan disparitas akses masyarakat. Tetapi ada kemungkinan juga bahwa mobilitas sosial masyarakat miskin yang relatif rendah memperlambat pengenalan dan penyebaran Covid-19 dibandingkan dengan mobilitas kelas menengah Jakarta yang cenderung tinggi, banyak dari mereka yang, hingga baru-baru ini, menikmati harga tiket pesawat yang sangat murah ke berbagai tujuan wisata domestik. Walaupun demikian, efek ini hanya berlaku sementara.

Meskipun keterlambatan pemerintah yang luar biasa dalam mengambil tindakan tegas dan prediksi mengerikan dari bencana kesehatan masyarakat yang membayangi, analisa dari Rujak Centre menunjukkan bahwa masih ada peluang untuk melindungi kelompok masyarakat kota yang paling rentan.

Agar bisa efektif, langkah-langkah untuk kesehatan masyarakat harus peka terhadap konteks sosial-ekonomi dan budaya. Hal ini membutuhkan pengakuan bahwa paparan risiko dan ketersediaan sumber daya dan peluang saat ini telah didistribusikan secara tidak merata lalu setelah itu membentuk intervensi yang sesuai.

Strategi mitigasi infeksi yang utama seperti peningkatan kegiatan cuci tangan, social distancing dan isolasi mandiri di rumah semuanya menjadi tantangan yang signifikan bagi realitas hidup kaum miskin Jakarta, yang diperparah oleh kurangnya dukungan pemerintah yang memadai.

Banyak lingkungan miskin, seperti di Muara Angke Jakarta Utara, yang memiliki akses terbatas terhadap air bersih dan sanitasi yang layak. Masyarakat setempat mengandalkan membeli air bersih dari penjual, yang secara logistik dan finansial akan sulit terutama pada saat krisis ekonomi. Permintaan dari aktivis miskin perkotaan agar pemerintah memberikan tempat mencuci tangan darurat sejauh ini masih belum terjawab.

Seruan untuk praktik social distancing yang lebih besar berbentrok dengan kenyataan bahwa 40 persen penduduk Jakarta tinggal di kampung kota yang padat, dimana ukuran rumah rata-rata adalah 9m2. Kebanyakan area ini diklasifikasikan sebagai ‘kumuh’ (kawasan kumuh) dimana kondisi perumahan dan infrastruktur publik dibawah standar. Penduduk sering berbagi fasilitas memasak, mencuci dan ruang komunal, sehingga membuat aturan social distancing hampir tidak memungkinkan.

Sebaliknya, Aryaduta yang merupakan perusahaan untuk hotel mewah, menawarkan paket ‘isolasi diri’ dengan bekerja sama dengan rumah sakit swasta di Jakarta yang akan memberikan pengujian PCR dengan akurasi tinggi untuk setiap pelanggan yang menunjukkan gejala.

Sejak status darurat dinyatakan oleh gubernur Jakarta Anies Baswedan pada tanggal 20 Maret, warga diminta untuk tidak meninggalkan rumah mereka “kecuali untuk hal-hal yang mendesak dan penting seperti kebutuhan pangan dan kesehatan”.

Tidak mengejutkan jika hal ini dan juga ‘Pembatasan Sosial Berskala Besar’ (PSBB) yang baru-baru ini disetujui untuk membatasi perkumpulan dan pergerakan sosial di seluruh kota memberikan dampak buruk bagi ratusan ribu orang miskin yang mencari nafkah dari kegiatan ekonomi informal. Dibawah aturan pembatasan ini, yang akan berlangsung hingga 24 April, transportasi umum akan dikurangi dan sekolah, kantor dan juga pusat perbelanjaan akan ditutup. Tempat ibadah akan ditutup dan perkumpulan lebih dari lima orang dilarang. Jalanan yang sepi menghilangkan penghasilan banyak orang yang tidak memiliki tabungan untuk bahkan hidup sehari-hari. Hal ini khususnya terjadi pada pemilik warung di pinggir jalan, yang selain tidak dapat beroperasi, sekarang mengalami kesulitan untuk membeli produk karena lingkungan lockdowns.

Pemerintah pusat dan pemerintah kota telah mengumumkan paket bantuan uang tunai dan makanan pokok. Distribusi bahan makanan pokok, masker kain dan sabun telah dimulai untuk mencakup kebutuhan semua kecamatan di Jakarta dalam beberapa minggu mendatang. Namun, kebingungan muncul tentang siapa yang berhak untuk menerima bantuan. Mengingat banyak kelompok miskin tidak terdaftar sebagai penduduk Jakarta sehingga mereka tidak bisa mengakses bantuan tersebut, bersama juga dengan mereka yang baru-baru ini menjadi miskin dan tidak terdaftar sebagai penerima bantuan sosial. Aktivis masyarakat juga menyatakan keprihatinan bahwa jumlah makanan yang didistribusikan saat ini hampir tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sebagian besar keluarga selama satu minggu.

Ketika kebutuhan bertahan hidup yang paling dasar dipertaruhkan, masyarakat harus mengambil risiko. Menurut aktivis masyarakat, meskipun ada himbauan untuk tinggal di rumah, para pedagang dan para pekerja malah mengadu nasib lebih jauh untuk mencari pelanggan atau pekerjaan. Rentenir juga memanfaatkan kebutuhan masyarakat miskin untuk mendapatkan uang tunai cepat sehingga menambahkan kondisi hutang yang sudah melumpuhkan perekonomian masyarakat.

Seluk beluk tentang kondisi kehidupan yang genting di ibukota membuat banyak orang tidak punya pilihan lain selain kembali ke kampung halaman dan desa, dengan kemungkinan setidaknya beberapa pulang membawa virus bersama mereka.

Menurut Gugun Muhammad, seorang aktivis Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), persepsi  terhadap risiko yang ditimbulkan oleh Covid-19 di lingkungan miskin di Jakarta bervariasi. “Beberapa takut dan melakukan apa pun yang mereka bisa untuk menghindari terinfeksi, sementara yang lain meremehkan risikonya dan melanjutkan hidup seperti biasa,” katanya.

Banyak masyarakat yang menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh virus tetapi tidak punya pilihan lain selain terus bekerja di jalanan. Seperti yang dikatakan oleh seorang penduduk dari Kampung Akuarium di Jakarta Utara, “Tinggal di rumah berarti tidak ada uang, yang berarti kita tidak makan”.

Menghadapi kelambanan pemerintah dan ancaman dari penyakit dan kehancuran ekonomi, jaringan pendukung dan organisasi mandiri di dalam dan di antara kampung dimobilisasi untuk menyediakan bantuan dan perlindungan.

Social distancing telah diterjemahkan pada tingkat komunitas dalam bentuk lockdowns kampung yang diatur secara mandiri. Dengan pendekatan praktik pertahanan masyarakat dahulu pada saat kerusuhan sosial dan lingkungan, masyarakat seperti di Tanah Merah, telah menerapkan bentuk-bentuk ‘hukum darurat’ setempat.

Warga yang bekerja di luar lingkungan dapat datang dan pergi melalui portal yang dijaga yang telah disediakan disinfektan. Sedangkan akses untuk orang luar harus mengikuti protokol pemeriksaan dan kebersihan setempat, dengan syarat hanya orang-orang dengan urusan penting saja yang diizinkan masuk.

Di Kampung Akuarium, tim warga telah dibentuk untuk meningkatkan kesadaran akan kebersihan lingkungan dan mendorong langkah-langkah social distancing yang praktis. Hal ini termasuk menghimbau penduduk untuk mempertimbangkan kembali pulang ke kampung masing-masing atau mudik di akhir bulan Ramadhan untuk melindungi kampung asal mereka dari risiko infeksi. Sumbangan isopropyl alkohol juga telah digunakan untuk memproduksi hand sanitizer yang kemudian didistribusikan ke seluruh penduduk Akuarium, masjid lokal, dan masyarakat sekitar. Sedangkan tim logistik lingkungan melakukan kegiatan belanja bersama dan terkoordinir untuk meminimalkan jumlah penduduk yang harus bepergian jauh ke pasar.

JRMK telah aktif dalam mencari dan mendistribusikan informasi dan sumber daya di antara jaringan lingkungan miskin dan komunitas sektor informal.

Mengingat kekhawatiran akan kebutuhan akses makanan ke kampung-kampung miskin, organisasi tersebut telah membeli beras untuk didistribusikan melalui jaringan kampung dan komunitas miskin melalui jaringan solidaritas petani di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Minuman herbal tradisional dengan harga terjangkau yang dipercaya dapat meningkatkan kekebalan tubuh juga telah didatangkan dari Yogyakarta.

JRMK juga menyediakan crowd-funding bagi masyarakat untuk memberikan bantuan untuk PKL, pekerja harian, tukang becak dan pekerja sektor informal lainnya. Lebih dari 200 keluarga telah menerima bantuan dana dengan syarat bahwa mereka akan tetap tinggal di rumah.

Warga miskin Jakarta menjadi warga yang tangguh, banyak akal dan pragmatis karna tuntutan kebutuhan. Banyak warga yang menerima risiko yang signifikan dari Covid-19 dan mengambil tindakan praktis meskipun dengan kondisi sumber daya yang terbatas untuk mencegah penyebaran Covid-19, sembari mencoba untuk tetap bertahan hidup secara ekonomi.

Namun, ketika peluang sosial dan ekonomi menyusut lebih jauh karena dampak dari social distancing dan penutupan terjadi, jaringan swadaya saja tidak akan cukup.

Intervensi pemerintah yang substansial diperlukan sesegera mungkin untuk memungkinkan orang miskin di Indonesia agar bisa melewati krisis ini. Kecuali jika semua orang miskin ditawari pengujian cepat, makanan pokok yang cukup dan berkelanjutan, subsidi tunai bebas dari birokrasi, infrastruktur dasar seperti persediaan air bersih dan moratorium penggusuran dan pembayaran utang, mereka akan mengalami dampak terbesar dari coronavirus.

 

Ditulis oleh :

Ian Wilson adalah seorang dosen senior politics and security studies dan juga peneliti di Asia Research Centre, Murdoch University. Ia adalah pengarang dari buku Politik Jatah Preman: ormas dan kuasa jalanan di Indonesia pasca Orde Baru yang dipublikasikan oleh Marjinkiri di tahun 2018.

Tulisan diatas diterjemahkan dari Covid-19, “Inequality and Jakarta’s urban poor: resilient, but at great risk” yang dimuat di Indonesia at Melbourne, 11 April 2019. Penerbitan di Rujak atas seizin penulis dan penerbit.

One thought on “Covid-19, Ketidaksetaraan dan Warga Miskin Kota Jakarta: Tangguh, tetapi dalam risiko tinggi

  1. Maria says:

    Semoga ada solusi bantuan bg warga jkt yg pendatang tp memiliki KTP sesuai domisili,status rumahny kost/kontrakan yg skrg ini masuk dlm kategori miskin & rentan miskin akibat covid19…apakah pemilik kost/kontrakan lebih berisiko menjadi miskin/rentan miskin dari anak kost/penyewa rumah mereka ?

    Kemanakah anak kost/penyewa rumah kontrakan bisa mendaftarkan diriny utk mendapatkan bantuan sembako & BLT,apakah kita hrs keluar utk jualan atau menjadi ojol baru biar bisa dapat bantuan ?????

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *